Ijin

Balai Kesehatan Ibu dan Anak itu selalu ramai. Pasiennya tidak hanya kaum ibu dan kanak-kanak. Sebab itu satu-satunya tempat berobat di kampung kami. Apalagi puskesmas terletak agak jauh, dan hanya aktif di jam kerja. Kasus-kasus darurat yang terjadi di hari libur, akan ditangani oleh BKIA. 

Halaman BKIA itu berbutir kerikil yang bersih. Luas dan menyenangkan sebagai tempat bermain. Halaman yang luas itu memang ada gunanya. Pada hari tertentu, parkiran itu akan penuh. Oh iya, BKIA ini hanya punya satu tenaga medis. Yaitu seorang bidang yang tinggal di bagian belakang bangunan BKIA. 

BKIA ini adalah satu-satunya tetangga yang saya miliki. Kika saya keluar rumah, di depan rumah ada gundukan tanah berumput yang dikelilingi pagar putih. Itu adalah area main kelinci. Lalu di sebelah kiri, terletaklah BKIA yang saya sebut-sebut di awal. Bu bidan dan pasien-pasiennya adalah tetangga terdekat saya. Hiks
Sebab di sebelah kanan, adalah gedung TK dengan seluncuran besar di halamannya yang luas.
Apabila dari jalan besar, kita berbelok ke kanan, maka pertama-tama akan bertemu dengan sekolah Tk dulu, kemudian rumah dinas kepala sekolah yang kami tempati, dan BKIA.
Dalam lingkungan itu, saya terkurung. Yamg mengurung justru adalah batasan dari Apa. Apa bilang, boleh main di halaman, tapi tidak boleh menyeberang jalan. 

Duhai..

Sungguh dilematis.
Dengan kiri kanan, merupakan tetangga yang ngga bisa diajak
 main masak-masakan. Lebih lagi di seberang jalan sana, persis banget di seberang. Ada rumah gadang berdinding anyaman bambu. Di sanalah teman TK saya tinggal. Bukan saya mengecilkan makna  tetangga lain. Bu Reni di depan suka ngasih kacang tujin, terus ada uwo di sebelah sana yang saya suka melihatnya menabur ragi pada beras ketan hitam. Dan tentu saja saya suka halaman BKIA yang bersih dan luas. 
Tapi teman main saya di seberang jalan, lebih menarik bagi saya. 
Sayang ada pesan penting dari Apa. 
Dan saya sungguh tidak berani melanggarnya.
Jadilah saya terus berada di area dalam batasan Apa.

Inilah alasan kenapa saya mengatur diri sendiri, di saat sekarang ini. Terutama ketika anak-anak beranjak remaja. Saat mereka dibelikan sepeda. Maunya saya, mereka main di halaman rumah saja. Yang panjangnya sekitar 10 meter x 1 meter. Saya merasa galau jika mereka keluar dari gerbang cluster. Hanya saja, saya percaya bahwa anak-anak butuh eksplore dunia luar dengan percaya diri. Tapi.. tapi.. masalahnya saya terlalu takut melepas mereka. 
Saya tumbuh menjadi Apa yang melarang anak melintas jalan. 

Saat anak-anak pamit mau main sepeda keluar area rumah, saya menyuruh mereka untuk minta ijin ke ayah. Yang tentu saja akan segera diiyakan ayahnya. Tapi urusan ini belum kelar sampai di situ. Saya memancang patok tanah dengan tegas. Persis seperti Apa. Hanya saya agak jauh mematoknya. Sebelah utara, batasnya adalah tanjakan, sementara selatan dibatasi masjid.  Ada batasan jarak, ada batasan waktu, dan juga geng main sepeda. 
Anak-anak manut.
Persis seperti saya dulu. 
Ketika temannya mengayuh sepeda melintasi patok imajiner buatan saya. Ia lantas mengubah arah sepedanya. Berderap pulang setelah melambaikan tangan pada teman-temannya. 
Saya tak urung merasa nelangsa.
Kasian tapi saya tidak berani mencabut patok tanah.

Lalu sore ini, seorang anak saya, meminta ijin saya untuk "melintasi" jalanan. Saya reflek bilang tidak. Namun kesadaran lain lamat-lamat menyapa. 
"Coba tanya pertimbangan ayah gimana." 
Ayah menimbang tapi ntar kembali bunda sibuk dengan patokan-patokan. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga