Bagai Air Terjun yang Menghamburi Kepala Begitu Saja

Di awal tahun ajaran ini, saya menyepakati satu metode belajar dengan anak-anak. Karena anak-anak sudah di penghujung sekolah dasar, terus saya merasa belajar sebelumnya kurang efektif. 

1. Malam hari, anak-anak belajar materi yang akan dipelajari esok hari. Take note tentang apa yang perlu ditanyakan ke bu guru besok. 

2. Keesokan harinya, anak-anak belajar di sekolah. Mereka bisa berdiskusi dengan teman, memecahkan soalan dan, tanya ke bu guru tentang materi yang belum dikuasai. Saya meminta mereka untuk mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, terus pakai adab belajar dan bergembira selama di sekolah. 

3. Sepulang sekolah, anak-anak bercerita ke bunda tentang pelajaran hari itu. 

Sounds well prepared khan ya.. 

Saya kira ini metode belajar yang membuat ilmu tidak punya celah sedikitpun untuk kabur. Melainkan terserap sepenuhnya oleh anak. 

Utuh.

Idealnya begitu. 

Bagaimana tidak, jika sudah dibaca tuntas, lalu coba dipahami sendiri, sembari take notes tentang pelajaran yang tidak dimengerti. Lantas besoknya bisa menuntaskan keingintahuan pada guru, sehingga pertanyaan yang memggantung, bisa dituntaskan. Tidak cukup sampai di situ. Sebab sore hari, mereka akan membagikan ilmunya pada saya. Saya optimis dengan metode kali ini. Saya berharap anak-anak akan menguasai semua materi dan nanti ujian dengan santai. 

Hanya saja, prakteknya engga semulus itu. Poin nomor satu seringkali terlewatkan. Entah karena ketiduran, atau tidak cukup waktu. Atau kadang kitanya ada agenda keluar rumah. Tentu saja mereka meluangkan waktu belajar setiap malamnya. Hanya tidak selalu tuntas belajarnya, dan kadang terlewat dengan take note. Gimana mau take note, kalau buku sudah bertransformasi menjadi bantal. 

Karena poin 1 sudah ke-skip, maka nomor dua pun tidaklah sempurna. Karena tidak ada pertanyaan yang terngiang di benak, lalu tidak tanya apa-apa ke guru di sekolah. Jadilah, mereka menyerap setiap penjelasan guru, laksana nampan yang menampung jatuhnya air. 

Maka poin tiga jelas sudah akan berantakan. Ketika di senja hari bunda bertanya, anak-anak kalang kabut dan merasa melewatkan banyak hal. 

Hiks.. 

Separuh semester telah berlalu, namun metode ini belum jua terlaksana dengan baik. 

Saya meneguhkan hati. Sejatinya kita memang perlu berjuang lebih keras dan lebih tangguh setiap harinya. 

Tapi lalu putri pertama menohok salah satu tiang kepercayaan diri saya. Ia mengajukan pertanyaan yamg sedemikian runyam. Saya nelangsa sebenar benarnya nelangsa. 

"Kakak udah praktek rangkaian seri dan paralel yah Nda, tapi masih ngga ngerti juga."

Ujar kakak dengan memelas.

Saya menaruh gagang sapu, dan meninggalkan tangga yang belum selesai disapu. Saya menghampiri kakak yang menghadapi buku. Wajahnya berkerut tak asik. 

"Pada bagian mana yang kakak ngga ngerti?"

Saya sendiri tidak habis pikir, bukankah kakak sudah presentasi papan percobaan listriknya tempo hari. Matanya berbinar tanda segalanya berjalan baik. Tapi kok ya kini kebingungan. 

"Apa itu hambatan, Nda?" 

Olala.

Kakak tengah bertanya pada seorang yang merupakan produk angkatan hafalan. Saya menghafal segalanya, tanpa pernah ada yang menjelaskan konsepnya pada saya. Andai saya punya nilai nyaris sempurna di mata pelajaran IPA, itu semata karena saya menghafal segalanya. Baris demi baris, kalimat dan kata tanpa satupun tanda baca tertukar. Betapapun saya hafal, namun saya pun tidak mengerti apa makna hambatan dalam konsep arus listrik.

Saya terbata. Lalu meminjam buku paket yang dipegang kakak.

Ternyata tidak ada penjelasan sederhana tentang apa itu hambatan. Saya memutar otak. Lantas air menderu sekuat tenaga, sementara angin berkesiur memekakkan telinga. Tiba-tiba, saya berdiri di bawah air terjun yang teramat tinggi. 


Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga