Beberes yang Engga Beres-beres

Kampus tempat saya kuliah, berjarak lumayan jauh dari rumah. Andai naik bus, dengan kecepatan normal, perlu tiga atau empat jam lamanya. Kemudian setelah sampai di perhentian bus, saya perlu nyambung naik ojek sebelum beneran sampai rumah. Saya biasanya pulang sekali sebulan. Kadang kalau saya pulang ke rumah sehabis kuliah siang, bisa-bisa sampai rumah udah malam. Kadang malah malam banget kalau lama menunggu bus sebelumnya. 

Hanya saja betapapun larutnya saya nyampe rumah, tetap saja saya akan beberes rumah dulu. Setelah salam orang tua dan menaruh barang-barang di kamar, saya akan segera mulai bekerja. Dimulai dengan mengangkut peralatan makan yang kotor ke tempat cuci piring, lalu mengumpulkan semua sampah-sampah. Setelah berkeliling rumah mengumpulkan sampah, saya akan mengembalikan barang-barang ke tempatnya. Sering saya terlalu capek, sehingga segala pernak pernik kecil semacam paku, peniti dan printilan halus lainnya, saya masukan aja ke satu kotak, lalu kotaknya masuk laci. Ini adalah tindakan yang menyulitkan seisi rumah. Sebab kalau saya balik ke kosan, semua yang di rumah bisa kelabakan mencari barang. Udah gitu anak yang beberes ngga bisa pula ditanya-tanya. Meski diomelin, tetap saja saya akaj mengosongkan permukaan meja, bofet, pajangan-pajangan, bagian atas jendela dan segala tempat yang memuat benda-benda kecil. 

Kelar menyimpan barang, dengan mengabaikan segala protes, saya mulai menyapu. Tentu saja semua juga komplain di titik ini. Jam segitu mestinya duduk leyeh-leyeh dengan nyaman. Eh malah mesti menyingkir karena debu beterbangan. Belum selesai dengan menyapu, karena saya akan mengelap segala permukaan terlebih dahulu. 

Tentu saja, orang tua saya tetap beberea saat saya sedang kuliah. Tapi masalahnya saya punya standar bersih dan rapi sendiri. Waktu itu orang tua membiarkan saya. Mungkin mereka pikir, baguslah kalau anaknya rajin bebenah rumah. Paling resikonya, ada barang-barang yang ngga ketemu. 

Saya masih terus senang beberes hingga bekerja dan tinggal di kostan yang kecil. Saya bisa membeli barang yang minimalis, dan hidup dengan kamar rapi jali sepanjang hari. 

Saya membeli barang yang benar-benar diperlukan, dan mengatur barang agar terlihat ringkas di kamar. Paling yang banyak saya beli adalah buku dan majalah. Itupun masih bisa diatur rapi dalam lemari.

Akan tetapi dunia jadi jungkir balik ketika saya menikah dan punya anak. Maunya sih tetap rapi seperti sebelumnya. Tapi khan ngga bisa begitu lagi. 

Ada suami yang capek dan tiduran di kasur, lalu saya ngga tega mengusiknya. Entah kenapa dulu saya ngga bisa mikir hal yang sama saat dulu. Dulu mah, saat ada yang ngga rapi, saya akan gas beberes tanpa banyak pertimbangan. Terus juga ada anak-anak yang begitu riang bermain balok. Lengkap dengan remah-remah biskuit di sekitar mereka. Entah kenapa kini saya bisa menahan diri melihat parade rumah berantakan ini. 

Nanti ketika anak-anak tidur, saya akan mengulang prosedur beberes malam yang acap saya kerjakan di masa lampau. Saat tengah malam mendekat, kerjaan saya berangsur selesai. Nanti saat anak-anak bangun, semuanya akan kembali berserakan. Tapi tidak apa. Saya tetap rapi. Saya akan menjaga pakaian di lemari agar terus dalam lipatan yang rapi. Persis saat baru habis disetrika. Demikian juga dengan berbagai benda lain. 

Entah saya yang menua, atau ada jenis pertimbangan lain yang terlambat datangnya. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga