Kisah Tukang Sayur

Kembali ke rumah lama kami, saat saya SD, saya menyadari kalau kami tidak pernah beli sayur. 

Ini maksudnya sayur mentah yah.. kalau slrg ini khan saya sering beli dua ikat kangkung, atau satu labu siam, atau sekantong jamur tiram, dan sebagainya. 

Waktu kecil dulu, saya dan seisi desa, ngga ada tuh yang beli sayur.  Ya gimana, namanya juga desa. Segala kebutuhan dapur nyaris semuanya dipenuhi sendiri dari kebun. Warung di desa kami,.kalaupun menjual bahan masakan, sebatas ikan kering saja. Mungkin karena kami jauh dari kota, atau ya memang warga desa butuhnya hanya itu-itu saja. Sebab inti dari perdagangan adalah supply demand khan ya.. jadi penjual yang paham selera pembeli, akan menyesuaikan.

Ayam dan ikan segar biasanya milik sendiri. Bagi yang tidak leluasa memelihara ayam, akan beli pada tetangga. Atau menunggu saat ada hari pekan mingguan. Kalau membutuhkan daging sapi, mau tidak mau harus meluncur ke kota dulu. 

Lalu saya meninggalkan desa, menuju perantauan dan lama tidak pernah menetap di kampung. Kemaren pas agak lama tinggal di kampung gegara covid, saya jadi memperhatikan banyak hal. Soalnya kalau lebaran, waktunya pendek dan sibuk bersilaturrahim. Jadinya banyak hal yang terlewat begitu saja. 

Saya menyadari kalau warung di dekat rumah, telah sedemikian lengkap jualannya. Segala macam sayur lengkap tersedia. Segar dan banyak ragamnya. Demikian.juga segala bumbu dapur. Jika dulu, saya mau memasak gulai, saya akan membawa cangkul ke belakang rumah. Lalu beberapa menit berikutnya akan sibuk menggali pokok lengkuas. Setelah dapat lengkuas, saya menaruh cangkul di samping rumah. Gantian sekarang parang yang bertugas menebas tangkai lengkuas yang panjang. Usai tugas parang, giliran pisau yang tajam beraksi. Ia akan berperan membuang akar yang tidak perlu, menyisihkan tanah dan mengupas kulit lengkuas. 

Udah selesai? 

Oho.. 

Masih belum.. hiks..

Lengkuas tadi dicuci bersih, dan diparut halus. 

Itu baru lengkuas, kita belum bahas bumbu-bumbu lain yang kini perlu disertakan dalam kuali. 

Tapi kini, dengan melenggang santai ke warung dekat rumah, saya bisa mendapatkan lengkuas yang sudah digiling..berikut segala bumbu lainnya. 

Alangkah mudah segala urusan. 

Bisa jadi orang-orang kini punya prioritas lain dalam hidupnya. Sehingga sekadar menanam daun kunyit atau sereh pun tidak lagi sempat. Apalagi menanam sayur mayur agar tidak perlu beli. Atau bisa juga jangan-jangan waktu kecil dulu, saya makan sayur seadanya saja. Cukup makan sayur yang ditemukan hari itu. Jika ketemu pakis saat pulang dari ladang, maka jadilah sayur pakis menemani makan malam. Jika sedang menyiangi kebun pisang, ketemu pula dengan jantung pisang. Demikian pula kisah sayur lainnya. Ia ada di meja makan, karena ialah yang ditemukan. Tapi lantas bagaimana kalau tidak ketemu sayur sama sekali. Setelah mondar mandir sawah dan ladnag, ternyata tidak ada. 


Nah di warung, sudah siap segala macam sayur menanti. Bahkan kita bisa menyusun menu mingguan tanpa khawatir akan kehabisan bahan. Bahkan semua bahan organik pun ada.

Jika di warung saja sudah sedemikian lengkap, apalagi di hari pekan. Kita bisa melihat begitu banyak sayur yang bisa dipilih sesuai selera. 

Dunia berganti cerita. 

Namun dalam kasus sayur mayur. Kita tengah menuju ke situasi yang lebih baik. 

Sementara itu, di Jakarta, tukang sayur telah siaga sejak  azan subuh usai. Mereka berkeliling mengantarkan sayur terbaik buat langganannya. Di depan rumah saya, setidaknya ada lima tukang sayur yang melintas. Tinggal kita yang memilih. Mau makan sayur apa hari ini. 


Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga