Saat Tekad Diuji

Tanggal 7 November, saya menuliskan kisah tentang melupakan sesuatu yang penting

Bahwa memang ada kalanya, kita lupa. Ya engga ada alasan sih sebenarnya. Di tengah banyaknya aplikasi yang membuat kita ngga lupa. Ada berbagai bentuk reminder yang bisa mengingatkan kita sesering mungkin. Bahkan kadang begitu annoying sampai kita ngga akan bisa lari dari itu.

Tapi ya gitu. 

Lupa itu manusiawi. 

Bahkan Allah memberikan keringanan, puasa tidaklah batal jika kita lupa. Andai di tengah siang terik, kita berjumpa sebotol air dingin di kulkas. Niat hati mau mengambil sayuran yang sudah dipotong, eh malah jadi ambil air. Lalu saking hausnya, dalam hitungan detik, air itu sudah mengalir di tenggorokan yang kering. Baru kemudian kita tersadar. 

"Ohiya, lagi puasa." 

Meski dahaga telah sirna, namun pahala puasa tetap bilangannya. Karena Allah bermurah hati pada sisi kita yang pelupa.

Maka kemaren itu, di tanggal 7, saya memancang tekad. Bahwa saya akan memaafkan sesiapa yang lupa. Simply karena ya udah, lupa aja. 

Saya kira akan semudah itu. 

Ini perkara berpikir positif aja sebenarnya. Apalah susahnya memaafkan orang yang lupa. 

Hanya saja, ujian datang terlalu cepat. Sehari sesudah janji dipatrikan dalam hati, saya berhadapan dengan ujian praktik. Akankah saya bisa memaafkan orang yang lupa, tanpa banyak kata.

Sehari sesudahnya, adalah hari ulang tahun saya. Yang sebenarnya biasa mengalir begitu saja. Bahkan saya sengaja mematikan notif ulang tahun di berbagai media. Karena engga pengen dibahas aja. Biarlah ulang tahun menjadi urusan renungan saya saja. Tidak usahlah menulis kata mutiara dan doa di laman sosmed. Saya kira, jika memang ada doa dari sahabat, sejatinya ia akan naik di sepertiga malam. Atau kala hening merajai hati, atau kala hujan berderu di atas bumi.

Maka biasanya hanya ada ada empat pihak yang mengucapkan selamat ulang tahun. Yaitu mama, suami, ipar dan anak-anak. Udah itu saja. 

Karena hanya mereka yang hafal tanggal ulang tahun saya, tanpa perlu diingatkan oleh facebook. 

Tapi hari telah beranjak ke area sore. Bahkan matahari tidak lagi punya kuasa pada langit. Ketika warna senja telah mengambil alih. Ia lantas undur diri, dan membawa terang pada belahan bumi lainnya. Saat itu saya menyadari ada dua pihak yang tidak mengucapkan selamat. Yang berarti, hanya dua pihak yang ingat ulang tahun saya. 

Saya segera menulis pesan cepat. 

Dan berbalas rentetan kalimat penyesalan. Bahwa ia lupa pada ulang tahun saya.

Ingat sih sebelumnya, demikian penjelasannya, tapi saat itu diasosiasikan dengan hari tertentu dan agenda tertentu, yang ternyata salah perhitungan. Lalu lupa. 

Lupa.

Saya segera terhempas ke hari sebelumnya, saat saya berjanji pada diri untuk bersikap pemaaf pada situasi lupa.

Tapi saat itu rasanya sedemikian sakit. Ada perasaan rumit yang menyergap semua bagian hati. Ikrar kemaren menyelinap entah kemana. Saya sepenuhnya sakit karena seseorang yang lupa. 

Ada bagian dari diri yang ingin memaafkan. Tinggal bilang, "iya, tidak apa." Tapi satu sisi lain pengen ngajak berantem. Soalan ini sangat spesial. Bagaimana bisa ulang tahun saya berada di ranah yang bisa dilupakan. Ia mestinya menjadi hari yang dipersiapkan sedemikian rupa. Tanpa ada peluang terhadap lupa. Ia mestinya ada di setiap aplikasi pengingat yang bisa diinstal di smartphone. Sehingga ratusan detik menjelang hari ulang tahun, segenap unsur di muka bumi mengingatkan agar jangan sekali-kali lupa. 


Tapi nyatanya engga gitu. 


Saya sulit memaafkan. Entah kenapa rasanya sedemikian pahit.

Mungkin ini yang namanya ujian. Ia telak menyerang bagian yang paling rawan

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga