Kisah Skincare di Rumah Kami

Di samping sumur, tempat warga desa mandi, tumbuh sebatang pohon nangka. Pohonnya lumayan tinggi, hingga bisa menaungi area sumur. Daunnya benar-benar rindang sampai memblokir cahaya matahari sepenuhnya. Selaras dengan banyaknya daun yang tumbuh, maka banyak jua yang menguning dan gugur. Daun yang berguguran itulah yang sering berserakan di area sumur. 
Daun nangka yang baru rontok itu sering dipungut kaum ibu. Setelah tulang daun dibuang, daun itu akan diremas di telapak tangan hingga agak hancur. Lalu terus digosok-gosok sampai beneran halus. Ketika sudah halus, daun tadi digosokkan ke wajah. 
Entah siapa yang memulai, namun kebanyakan perempuan di desa kami melakukan hal itu. Agaknya ini adalah proses eksfoliasi khas pedesaan. Karena daun nangka bersifat kesat. Itu saja alasannya. Tidak ada unsur pertimbangan kandungan zat segala macam. Namun tak urung saya yang masih remaja kala itu, ikut pula mencobanya.

Selain aksi mengikis kulit mati dengan daun yang menguning. Memakai bedak beras juga lazim dilakukan oleh perempuan di desa kami. Bedak beras berbentuk butiran, diencerkan dengan sedikit air, lalu dioleskan merata pada wajah. 

Saya punya pengalaman spesial dengan bedak beras ini. Pasca kecelakaan dan saraf di wajah belum pulih sepenuhnya. Ada tetua.yang menganjurkan saya pakai bedak berad yang diencerkan dengan air jeruk nipis. Rasanya sungguh aduhai. Sensasi nyaman yang biasanya seketika muncul, tidak pernah ada. Yang datang adalah efek kesemutan diselingi sedikit nyeri. Ajaib bahwa perlahan saya pulih. Mungkin kontraksi otot akibat paduan bedak dan jeruk nipis, menguatkan lagi kinerja saraf. Wallahu alam.

Sebenarnya sih bukannya engga ada kosmetik di kampung kami. Bahkan sebelum saya lahir, mama sudah memakai bedak Kelly. Lalu ketika saya anak-anak, mama menggunakan Gizi supercream sebagai krim wajah harian. Kalau menurut mama sih, krim itu efektif menjaga kulit tetap kencang. 

Ketika saya baru menginjak sekolah menengah pertama, hadirlah yang namanya cleansing foam dan toner. Hanya sayang saya kemakan hasutan tak bertanggung jawab dari kakak saya. Ia bilang, kalau pakai cleanser itu lebih mujarab kalau dijadikan sebagai krim wajah kayak punya mama, jadi ngga usah dibersihkan.
Terus saya manut aja gitu. 
Dengan patuh saya ikutan pakai cleanser begitu saja. 
Hiks.
Setelah agak kering di wajah, baru pakai bedak tabur putih.
Kalau diingat-ingat lagi, emang random sekali kerjaan waktu kecil dulu.

Scrub wajah, baru saya kenal pas di SM, saya menyukai aromanya yang khas. Dan kadang saya merindukan kembali aroma itu. Karena seketika bisa membawa saya kembali ke masa-masa indah kala SMA, uhuk..
 hahaha... 

Terus pas kuliah, udah mulai serius segala perawatan wajah. Saya mulai kenal yang namanya peeling dan masker, yang ternyata ampuh pakai banget buat menghilangkan titik titik noda di wajah. Serius. Asal dilakukan dengan rutin.  

Tapi urusan skincare yang pakai sekian banyak langkah, baru bisa dilakukan saat udah punya uang. iya dong.. ini realistis aja. Perlu dana buat beli skincare yang sesuai, terus juga perlu waktu buat mengaplikasikan sekian tahapannya. Soalnya setiap step butuh dibiarkan meresap dulu sebelum lanjut ke tahap berikutnya. Ini yang rada susah dilakukan saat terdesak nyiapin bekal anak sekolahan, dan bayi menangis minta diperhatikan.

Anyway, betapapun sibuknya, saya kita perempuan perlu meluangkan waktu untuk memperhatikan kesehatan kulit.  Mengurus wajah, adalah bentuk kita merawat diri sendiri, dan mencegah timbulnya penyakit, minimal jerawat. Setidaknya, jika waktu memang sangat terbatas, cukup membersihkan wajah dengan sempurna, dan menggunakan uv protector dengan rutin. Kira-kira seperti perempuan desa yang akrab dengan daun nangka dan bedak dingin.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga