Dari Sentana ke Petuah Dale Carnegie


Ujuang Tanah adalah nama segundukan tanah mirip bukit kecil yang terletak di Nagari Tungkar, Sumatera Barat. Ia berada di tikungan sekaligus turunan, di pinggiran lokasi pemukiman penduduk. Itu sebabnya situasinya senantiasa sepi. Hanya pada jam tertentu orang-orang melintasinya, yaitu pada jam-jam sholat, sebab itu adalah tikungan menuju masjid. Ujuang Tanah adalah sepetak tanah terbengkalai yang konon ditakuti oleh banyak orang, dalam kata lain angker. Karena sepinya. Karena banyak rumpun bambu. Juga karena tidak pernah ada orang yang tinggal di sana. Ini sungguh adalah lokasi terpencil yang sunyi senyap. 

Meskipun Ujuang Tanah mengandung kisah misterius yang amat menarik untuk dibahas, tapi saya tidak hendak menceritakan bagian-bagian yang serem itu. Ini adalah kisah Apa, saya dan dunia literasi. 

Di Ujuang Tanah itulah Apa membangun rumah kayu pertama setelah menikah. Setiap pahatan dan ketokan palu, dikerjakan oleh Apa sendirian. Di kala itu, amatlah lazim seorang lelaki membangun rumahnya start from the scratch. Dan ini beneran scratch dalam artian harfiah. Sebab kayu papan, kusen, kasau, jendela dan pintu berasal dari dalam hutan, tanah warisan nenek yang diarit sendiri oleh Apa. Demikianlah, setiap elemen rumah dibuat manual secara perlahan. Satu demi satu hingga menjadi rumah tinggal yang nyaman. 

Rumah kayu terdiri dari dua bagian. Bagian dapur dan ruang makan yang luas, dan ruang tidur yang dipisahkan oleh satu anak tangga. Seingat saya ada banyak jendela di area dapur rumah kami itu.

Di rumah itulah saya lahir. Persis ketika Dunia Dalam Berita akan tayang di TVRI. Persis pada jam sembilan malam.  Nenek yang sedang numpang nonton di rumah tetangga, tergopoh-gopoh pulang ketika mendapat kabar darurat. Beliau batal menyimak berita malam itu.

Di rumah itu saya bermain dengan tanah merah, potongan batang singkong dan daun sirsak yang berjatuhan di halaman. Di sana saya memanjati rak piring yang juga dibuat Apa. Di sana juga saya memegang koran langganan Apa, koran Sentana, dengan cara terbalik. Ekspresi wajah saya sama seriusnya dengan Apa. Kami tengah menekuni surat kabar yang membawakan banyak hal menarik. Sepertinya begitu, karena Apa begitu tekun membac. Iya, memang demikianlah adanya. Apa adalah petani yang mencintai buku dan segala dokumentasi yang memuat ilmu dan kabar baru.

Mama yang baru pulang dari sekolah, sontak terbahak. Saat itu pastilah saya lucu sekali. Tapi yang jelas bagi saya itu engga lucu. 

Saya lantas mengamuk seiring lenyapnya tawa geli di wajah mama. Mama menyadari saya yang ingin belajar membaca, lalu meraih Sentana dan menunjuk, "Ini huruf A, sekarang coba cari huruf A lainnya di koran ini." 

Saya, anak usia 3.5 tahun yang berpipi bulat, seketika sibuk menemukan huruf A yang hilang. Kemudian huruf-huruf lain memunculkan dirinya di halaman koran.

Tidak butuh waktu lama, saya pun menuntaskan misteri alfabet. Dan segera saja saya membaca koran seperti halnya orang dewasa. Perjalanan literasi saya dimulai dari koran bernama Sentana itu. Yang kini sudah entah bagaimana nasibnya.

Apa menyukai buku. Saya membayangkan Apa di masa mudanya sering mengunjungi perpustakaan dan melahap habis segala sumber ilmu. Saya bayangkan bahwa Apa adalah seorang yang suka berdialektika. Meskipun keseharian Apa sangat akrab dengan peralatan bertani. Tapi binar matanya melampaui itu semua.

Pernah di sebuah senja yang tentram, Apa berkata. "Kelak, jika situasi kita sudah berubah, carilah buku Dale Carnegie, yang judulnya, Jika Tuan Hendak Banyak Kawan." 

Saya menyimpan amanat itu dengan cermat, untuk kelak saya tuntaskan. Sebab di saat itu, jangankan sebuah buku yang ditulis oleh orang asing, bahkan kami kesulitan dengan kebutuhan pangan sehari-hari. Dalam hati, saya bertekad untuk menemukan buku itu. Pesan Apa saya genggam bagaikan sebuah lentera, bahwa dalam situasi yang runyam sekalipun, kecintaan pada ilmu pengetahuan tidaklah boleh diketepikan. Melainkan dipupuk menjadi sebuah semangat yang menyala-nyala. 

Waktu berganti sementara saya bertambah usia, dan melahap begitu banyak buku. Saya menyukai fakta bahwa buku-buku perpus SD yang datang ke sekolah kami, perlu transit ke rumah dinas. Karena mobil tidak leluasa pergi ke sekolah. Saya jadi bisa membaca banyak buku di rumah. Ketika kemudian saya kuliah, dan punya akses ke perpustakaan daerah di ibukota provinsi dan juga perpustakaan kampus, saya membaca makin banyak buku. Akan tetapi buku Dale Carnegie yang dimaksudkan Apa masih saja berada di ranah misteri. Apa sendiri juga makin banyak membaca, saya jadi senang membawakan majalah setiap kali pulang ke rumah. Apa juga sangat filosofis. Beliau menyukai rangkaian kalimat yang indah dan terpesona dengan makna tersirat. 

Buku yang dimaksud Apa akhirnya saya dapatkan setelah saya berada amat jauh dari rumah. Ia diterbitkan dengan judul yang berbeda, namun saya percaya bahwa buku itulah yang dimaksudkan oleh Apa. Setiap lembar yang saya baca, membuat saya makin dekat dengan Apa. Apa pastinya sangat terinspirasi oleh buku ini. Karena saya melihat banyak hal pada buku tersebut yang muncul pada sosok Apa. 

Saya bahagia, sekaligus bangga. Karena memiliki bapak, seorang petani lulusan SMP yang sangat mencintai dunia literasi. Bagi saya, Apa adalah sosok teladan yang mendorong saya membuka jendela dunia. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga