Sesuatu yang Sumbang

"Sumbang."

Jawab mama dengan tangkas, ketika saya mempertanyakan kenapa saya dan Da Yose, tidak boleh jalan bergandengan tangan. Padahal ia adalah kakak laki-laki kandung satu-satunya. Waktu itu mama tengah mengajarkan sepenggal falsafah adat minang. Mama mengatakan bahwa saya dan Da Yose tidak patut jalan berdua di tengah jalan, terus gandengan atau gelendotan. 

"But, why?" 

Gitu sih pikiran saya waktu itu. Sama kakak kandung ini kok.. harusnya engga ada masalah dong. 

Tapi waktu itu mama menggeleng pasti. 

"Itulah yang namanya sumbang. Sesuatu yang boleh saja menurut kitab undang-undang atau ajaran agama, tapi jika dikerjakan menghasilkan mudharat." 

Saya menatap tidak paham. Mama sepertinya paham bahwa saya tengah bersiap meluncurkan argumentasi. 

"Ya, kan ngga semua orang tahu kalian itu bersaudara. Bagaimana kalau orang yang hanya kenal salah satu dari kalian, terus nanti jadi bahan omongan." 

Saya mengucap oooh dengan pelan.

I see..

Ini perkara sesuatu yang boleh namun bisa jadi mengundang hal yang tidak baik. Obrolan itu kelar sampai di titik itu. 

Saya lupa kapan kejadiannya, kemungkinan terjadi saat saya jelang remaja. Mungkin saat-saat mama menyiapkan saya menjadi anak gadis elegan nan taat pada segenap aturan.

Faktanya saya patuh sepatuhnya, meski saat itu saya tidak sepenuhnya paham tentang mana saja yang termasuk sumbang, dan mana yang tidak. Buktinya ada kenangan saya tentang Apa menggamit lengan saya dan membawa saya pulang. Waktu itu saya tengah menyelesaikan peer fisika yang rumit maksimal bersama kakak-kakak mahasiwa yang tengah KKN di kampung kami. 

"Tapi Pa, kan hanya ngerjain peer?"

"Iya, tapi ngerjainnya di warung kopi."

Pikiran saya waktu itu tidak sampai ke sana. Karena kakak mahasiswa itu tinggal di rumahnya pemilik warung kopi, saya pikir lumrah jika saya duduk ngerjain peer di sana. Lagipula pemilik warung kopi itu tak lain kakaknya Apa sendiri. Itu masih rumah keluarga kami. 

Tapi Apa tidak senang. Maka saya simpulkan itu termasuk kategori hal yang sumbang. Belakangan setelah agak besar barulah saya ingat sekelebat pandangan bapak-bapak peminum kopi. Pandangan yang menyatakan rasa tak setuju. 

Berhubung kala itu masih remaja yang kurang pertimbangan, jadilah saya memerlukan bantuan orang tua yang mengingatkan hal-hal begini. Hingga akhirnya muncul raso pariso. Sebuah alert system yang menyatakan bahwa sebuah perkara termasuk kategori sumbang. Tapi ya tidak senantiasa bekerja dengan baik jugaa sih.. haha.. mungkin perlu kedalaman ilmu dan keluasan pengalaman tertentu hingga diri terasah. 

Saat ini ketika putri-putri saya sudah menjelang remaja, saya sudah mulai sering mengingatkan tentang hal-hal sumbang ini. Anehnya saya baru sadar kalau tidak pernah menggunakan kata 'sumbang'. Entah kenapa juga, ngga jelas juga alasannya. Saya merasa lebih nyaman dengan istilah "tidak elok". 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga