Perempuan dan Cerita di Sekelilingnya


Salah satu ujian terberat bagi perempuan adalah ketika ia berjumpa dengan perempuan lain yang senang bercerita. Ada terlalu banyak bahan cerita yang melonjak-lonjak berebutan ingin keluar. Mulai dari perkara keributan pagi hari. Saat anak-anak sulit dibangunkan sholat subuh. Lalu beralih ke lontong sayur yang dibuat tergesa, sehingga lontongnya terlalu lembek kebanyakan air. Bahan obrolan lalu bisa melaju ke masalah cuci piring dan baju. Itu baru di kisaran jam-jam pertama bangun tidur. Dan itu baru seputaran rumah tangga belaka. Apabila sedikit beranjak ke teras rumah, kerunyaman mulai berkembang. Karena faktor eksternal mulai mempengaruhi keseharian. Obrolan bisa berkembang jauh. 

Sebagai contoh, perkara lontong yang gagal proses sebagai akibat dari kesalahan prosedur. Jika ia dibatasi pada urusan dapur saja. Obrolan tadi saya kira hanya membahas tentang tips membuat lontong yang baik, sharing pengalaman dan saling memyemangati agar besok-besok tetap semangat memasak. Akan tetapi jika sedikit saja merembet ke dapur tetangga. 
"Eh si A itu lontongnya begini loh caranya."
"Ah, masa."
"Iya, dia sih masaknya bla..blaa.." panjang deh.
Apabila urusan lontong ini lalu makin meluas, bisa-bisa warung lontong sayur di ujung kampung dibawa-bawa. 
Sungguh sangat luas perkara yang ditimbulkan dari lontong itu saja. 
Bahkan keburukan bisa muncul. 
Jika ada yang menyerempet ke arah fitnah. 
"Eh tahu ngga, si B itu warungnya awalnya jualan lontong sayur aja khan ya, tapi...."
Nah ini.
Segala obrolan yang dimulai dengan 'eh tahu ngga' jarang yang berakhir dengan kemuliaan tetap terjaga. 

Inilah asal muasal larangan Apa, bahwa mama dan saya tidak boleh banyak ngobrol dengan tetangga. Atau siapapun sebenarnya. Karena kami berdua berpeluang akan ngobrol panjang dan lalu kebablasan. 

Ini larangan yang sulit. Tapi sekaligus harus dipatuhi. Karena baik saya maupun mama paham bahwa Apa tengah menjaga kami berdua dari membuang waktu percuma, dari kemungkinan obrolan yang sia-sia, dan terutama dari dosa. 

Akhirnya kami berdua, dua perempuan di dalam rumah, menemukan solusi tepat. Kami memang tidak ngobrol dengan tetangga, tapi malah asik ngobrol berdua. Ibu dan anak yang punya setumpukan bahan obrolan. Namun tentu saja, kami tidak bisa menyebut- nyebut orang lain dalam pembicaraan kami. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga