Bak Mandapek Durian Runtuah

 


Apabila musim durian datang, dan buah durian telah siap berguguran dari dahannya, dangau atau saung di kebun durian segera diperbaiki. Atapnya yang berlubang-lubang segera diganti dengan ilalang yang baru. Ikat demi ikat ilalang disusun di rangka atap menggantikan ilalang lama yang telah berganti bentuk sebagai kompos. Demikian juga dindingnya yang hanya separuh juga perlu diperbaiki. . Semua dangau mahuni durian memang demikian. Sebab jika ditutup rapat, bagaimana bisa peladang mengamati sekeliling dengan leluasa. Hanya lantai layu yang keras, yang lazimnya bertahan dari satu musim durian ke musim berikutnya. 

Di sekolah, teman-teman akan sibuk menceritakan pengalaman seru mereka saat mahuni durian pada malam hari. Saya selalu menatap iri. Saya seakan bisa menyaksikan dari dangau betapa api unggun menyala konstan agar orang-orang tidak kedinginan. Retih api lalu ditingkahi oleh bunyi air menggelegak dari ceret yang dikaitkan di atas tiang dekat api. Air mendidih itu pun segera berjumpa dengan kopi bubuk dan gula di gelas enamel yang sudah kecoklatan karena senantiasa bertemankan kopi. Sementara itu di tungku, jangan kira hanya ada kayu bakar belaka. Di antara kayu bakar itu terdapat potongan ubi jalar dan singkong. Kelak ketika kopi sudah cukup dingin untuk dihirup, ubi pun telah matang sempurna. 

Saya bisa melihat gerakan tangan orang-orang yang dirubung nyamuk. Sebab kain sarung kadangkala tidak cukup sebagai penghalang gigitan nyamuk. Agaknya nyamuk ingin pula mendapat kesempatan panen malam ini. Kapan lagi orang-orang berkumpul di hutan menyerahkan kaki dan tangan untuk digigit nyamuk.

Saya bisa mendengarkan debum buah durian yang jatuh itu, bersambung dengan jeritan antusias dan langkah kaki berlarian di antara semak.

Betapa menyenangkan. Seru dan tidak akan terlupakan. 

Sayang itu bukan kenangan saya. Melainkan hasil rekonstruksi dari cerita teman-teman SD, yang datang ke sekolah dengan lengan penuh bentol bekas gigitan nyamuk. Saya menatap lengan merah itu dengan rasa iri.  Sayang sekali, saya tidak pernah mendapatkan pengalaman langsung, sayang kami tidak punya ladang durian. Dan sayangnya orang tua tidak mengizinkan saya ikut menunggui ladang milik teman. Hiks.. 

Masa kecil dan jelang remaja saya berlalu suram setiap kali musim durian datang. Cerita demi cerita berganti hadir. Kadangkala pengalaman itu sedemikian serunya, menegangkan dan begitu nyata. Sehingga saya makin penasaran dengan perkara menunggui durian. Tapi sungguh mustahil saya bisa menyelinap keluar rumah dan kabur ke ladang durian milik sahabat saya. Peribahasa "Bak mendapat durian runtuh" bagi saya minim makna.  Selain saya baca di buku bahwa artinya adalah kejadian dimana kita mendapatkan rezeki tiba-tiba dalam jumlah besar. Peribahasa yang menarik.

Kesempatan menunggui durian ternyata datang di usia dua puluh. Ketika saya sedang KKN di sebuah desa. Persis saat itu segenap pohon durian tengah berjaya mengeluarkan buah terbaiknya. Setelah beberapa hari di rumah host KKN, saya mendapati bahwa anak-anak mengaji seringkali menghantarkan durian di pagi hari. Dan kemanapun kami pergi kami selalu disuguhi buah istimewa ini. Tapi saya tidak menyangka bahwa saya akan ikut ke ladang. Bermula dari sebuah rapat pemuda berkepanjangan, yang ngga kelar-kelar hinggga nyaris tengah malam. Kami tidak punya kendaraan untuk pulang ke posko sejauh tiga puluh kilometer. Dan sebenarnya pun wilayah itu hanya dilewati kendaraan dua kali saja dalam sehari. Di malam hari, praktis tidak ada bunyi kendaraan apa-apa. Skenario kedua pun dilaksanakan. Bahwa kami akan menginap di rumah dinas bidan terdekat. Namun ketua pemuda di sana berkata bahwa ketimbang langsung tidur, kenapa tidak main ke ladang durian. 

Sekelompok pemuda kampung yang berjumpa dengan 10 orang mahasiswa KKN, lalu berderap menuju ladang. Yang ternyata tidaklah dekat. Setelah jauh berjalan, kami sampai dan segera saya menemukan gambaran dari cerita hasil rekonstruksi di kepala saya. Yaitu sebuah dangau nyaman dengan api unggun menyala di depannya. Saya duduk dengan riang. Segera kami terlibat obrolan seru, melanjutkan bahasan dari balai pemuda yang belum jua tuntas.

Tengah malam berlalu begitu saja. Dini hari menjelang sementara semakin banyak kopi dan ubi yang melintasi kerongkongan. Kami masih punya banyak bahan obrolan. Hanya lamat-lamat saya menyadari bahwa selama berjam-jam tidak satupun debum suara durian jatuh. Apakah karena kami terlalu riuh bersuara. Yang jelas saya tidak menjumpai satupun durian sementara subuh sebentar lagi akan tiba. Kepala pemuda menyadari situasi tidak menguntungkan itu. Ia menggamit seorang temannya dan segera pergi. Saya dan teman KKN lain hanya melihat. Dan kemudian lanjut pada obrolan semula. Sementara itu kiasan durian runtuh makin samar saja. Saya tidak lagi berharap banyak. Gambaran indahnya momen menunggu durian yang saya rangkai sejak SD ternyata tidak terwujud. Saya bertanya-tanya apakah teman sekelas mengada-ngada waktu itu. Ataukah memang demikianlah perjuangannya. 

Azan berkumandang dari lembah, menyapa segenap pucuk pohon durian dan singgah ke dangau kami. Teman pemilik dangau mematikan api unggun dengan cermat. Sedang yang lainnya mengemasi sarung. Dengan berkelumun kain sarung, kami kembali ke rumah ketua pemuda. Saya dan teman-teman akan numpang sholat subuh dulu sebelum kembali ke posko. Di sana akhirnya, seusai sholat, saya menemukan setumpukan durian. Ketua pemuda telah mengumpulkan durian dari dangau-dangau terdekat. Saya tersenyum. Peribahasa itu kini jadi kental maknanya. Andai tadi subuh, ada satu saja buah durian yang jatuh, betapa kami semua akan bersorak gembira. Apalagi jika duriannya serentak luruh, runtuh. Betapa berseri wajah-wajah yang berbentol merah itu. 

Akhirnya saya tetap tidak menemukan men durian runtuh secara harfiah. Namun dalam kehidupan sehari-hari ada banyak kejadian durian runtuh yang patut saya syukuri. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga