Me Time yang Terlupakan

Saya paling suka membantu mama saat memasak gulai. Saya bertugas memegang sendok besar dan mengaduk gulai tanpa henti. Sebab sedikit saja tangan berhenti mengaduk, alamat santan akan pecah. Betapapun usaha dicurahkan untuk memperbaikinya, namun santan yang terlanjur pecah tidak akan bisa diperbaiki. Masing-masing unsur santan telah terpencar, mereka bertekad untuk meniti jalan hidup masing-masing. 

Eh ini masih ngebahas santan kan ya.. hihi...

Oke balik ke santan yang telah bercampir bumbu, yang kini berada di hadapan saya. Setidaknya perlu 20 menit untuk memastikan santan telah berpadu sempurna dengan bumbu, dan telah menjadi kesatuan yang harmonis. 

Ini ngebahas santan apa rumah tangga. 

Proses memasak gulai yang lama nian ini membuat saya perlu menghibur diri. Seringnya sih dengan bersenandung. Saya tanpa sadar menyanyikan lagu dari tanah jiran yang belakangan berkumandang di setiap toko kaset.

Saat saya tengah berada di puncak keseriusan bernyanyi itulah Apa datang. Teguran Apa membuat lagu dari negara tetangga itu segera pulang kampung. 

Saya terdiam..

Sebab Apa bilang, udahan nyanyinya, kapan mau berdzikir. Jika di awal pekerjaan sudah baca bismillah, sepanjang bekerja harusnya berdzikir, bukannya nyanyi. 

Di hadapan gulai yang kini telah mendidih dengan baik, saya mengangguk patuh.

"Iya Pa."

Di masa kanak-kanak, segala petuah Apa terasa bagai panduan yang wajib dilaksanakan. Sebuah tata tertib yang tidak perlu dipertanyakan sama sekali. Melainkan hanya dilakukan saja. 

Tapi kini ketika saya sudah besar, baru terasa segala nasehat Apa, adalah benar dan pas.

Bahkan ada lagu dari film anak-anak Omar Hana yang juga dari negeri jiran.

"Semua kerja, jadi ibadah, mulai dengan bismillah."

Memaknai kerja sebagai ibadah terasa amay penting bagi saya. Seorang ibu tiga anak yang berkejaran dengan waktu. Saya tidak memiliki waktu untuk mengaji dalam waktu lama, pun hanya bisa sesekali mengerjakan sholat sunnah, dan banyak ibadah sunnah lainnya yang  tidak bisa dikerjakan. Maka saya berharap bahwa semua pekerjaan yang dikerjakan dengan niat baik ikhlas karena Allah, semoga Allah berikan pahala ganjarannya. 

Entah karena itu, saya tidak pernah berada di kondisi jenuh. Saya baik-baik saja ketika anak-anak belajar di rumah dan saya mendadak jadi guru semua mata pelajaran. Saya baik-baik saja ketika banyak kerjaan di rumah dan saya bahkan tidak bisa ngemil lagi. Atau kini saya tidak lagi bisa mantengin status sesiapa di sosmed. 

Karena semua kerjaan rumah yang dilaksanakan, juga dibarengi dengan rasa sadar akan nilai ibadah. Semua diawali dengan bismillah.. dengan nama Allah. Apabila segala sudah didahului dengan menyebut nama Allah, kenapa harus lelah mengerjakannya. Terus dzikir yang mewarnai di sepanjang pekerjaan juga berperan bagai penyemangat. Layaknya bapak-bapak tentara yang kalo lari pagi suka sambil nyanyi bareng itu. Berdzikir juga bisa menguatkan diri. Andai lagi di belakang rumah, nyuci kain lap yang butuh kekuatan tangan super, melantunkan dzikir mengubah fokus dari lap kotak-kotak ke kalimat dzikir. Bagi saya ini sangat membantu. Sampai akhirnya saya lupa, bahwa saya tidak pernah menggunakan istilah me time. Juga tidak pernah berpikir bahwa saya butuh me time. Sebab sepanjang hari ada banyak kesempatan saya berdzikir dengan tenang. Rumah bagi saya adalah tempat personal yang nyaman, dan waktu yang berpilin di sekitar saya adalah waktu yang pas untuk beribadah. 


Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga