Deep Talk sama Atya Ifa

 


Beberapa waktu belakangan, saya makin menyadari bahwa anak-anak sudah kian besar. Mereka kini menginjak pra-remaja. Saya tidak lagi bisa pakai cara yang sama dengan waktu lampau. Simply karena mereka sudah berubah, mereka bertumbuh, menyerap informasi dan makin berkembang. Mereka juga mengalami perubahan cara pandang, cara berpikir dan bertindak dan juga cara mereka mengambil pembelajaran.

Suatu sore, saya terpikir kenangan akan obrolan lama dari Mama dan Apa. Mama curhat tentang temannya yang ditemuinya siang ini. Bahwa sang teman itu suka banget menimpali kalimat mama dengan "Awak baitu pulo Mar." Saya juga begitu loh. Apa waktu itu tertawa ringan, dan berkata, "Kenapa ngga bilang, ayahnya anak-anak petani yang susah hidupnya." Pasti dia ngga bisa menimpali dengan kalimat "saya juga sama, begitu juga."

Kiranya adegan beginian telah eksis sejak dahulu kala. Kalau sekarang orang-orang ngomongnya

 "Ah kamu mah enak, aku lebih parah... Bla..bla.." 

Khan rada nyebelin kalau begitu.. Ahaha.

Kalau dilihat lagi ini seperti mencuri panggung seseorang. Seolah kita ini ngga pengen banget seseorang lebih bright shimmering splendid daripada kita. Rasanya tiap topik obrolan orang itu, kita ini punya sesuatu yang lebih. 

Kalau dilihat lagi, ya normal sih begitu. Namanya juga pengalaman kita sendiri, ya pastilah lebih berkesan dan sangat kita hargai keberadaanya. Dibanding dengan pengalaman orang, tentunya sesuatu yang kita alami sendiri, lebih menohok dan otomatis telah menempel di diri kita.

Akan tetapi, kemampuan untuk mendengarkan kisah orang dan kemudian mengapresiasinya, adalah sesuatu yang perlu dipelajari. Sebab hanya manusia-manusia kuat yang sanggup menatap dengan berbinar dan tersenyum gembira saat si pemilik kisah menceritakan hikmah perjalanannya. Andai semua orang mempersilahkan tiap orang bersinar di panggungnya, alangkah indah suasananya. 

Nah kenangan ini yang muncul saat saya sedang menemani anak-anak yang bersiap mau kembali bersekolah offline. Entah kenapa saya terbayang kalau anak-anak akan ketemu teman lama setelah sekian lama, kira-kira anak-anak ngobrolin apa yah. Apa ngebahas di rumah ngapain aja. Atau bahas pergi liburan, atau film series apa, atau sudah nonton bioskop atau belum. Mendadak saya kebayang kenangan lama tentang seorang yang hobi menimpali obrolan orang lain. Lalu tercetus pikiran, wah ini penting nih buat dibahas. Juga mendadak teringat istilah FOMO - Fear Of Missing Out. Anak-anak udah mau remaja, pastinya bakal lebih banyak terlibat dalam kehidupan sosial. FOMO salah satu bentuk praktek sehari-harinya, adalah minder ketika merasa ketinggalan dari orang lain. Karena Atya dan Ifa tidak pegang smartphone dan ngga boleh ke bioskop, bagaimana mereka menghadapi obrolan teman sepantarannya. Wah ini malah saya nya dilanda cemas. 

Maka saya segera menggelar sesi deep talk. Lengkap dengan segelas kopi hitam untuk saya sendiri.. hihi.. anak-anak sih nyantai aja. 

Sebenarnya topik yang saya bahas ini bukan hal baru bagi anak-anak. Mereka udah lama banget paham tentang value keluarga, tentang branding diri sendiri dan juga tentang memaknai tujuan hidup. Jadi tentang FOMO ini hanyalah percakapan extend dari sesi-sesi lampau.

"Pernahkah mendengar tentang FOMO?"

Keduanya menggeleng. Segera saja saya mengeluarkan ceramah 30 menit tentang arti, dampak dan solusi FOMO. Anak-anak menyimak dengan baik, dengan eye contact yang terjaga sempurna. Tapi saya tidak boleh membohongi diri sendiri bahwa anak-anak masih belum paham. Atau jangan-jangan sebenarnya anak-anak ini ngga pernah terlintas untuk FOMO. Jangan-jangan segala bekal nasehat dan pemahaman hidup selama ini, sudah cukup untuk anak-anak. Tapi ya saya ngga mau mengambil resiko. Mereka perlu paham banget tentang FOMO dan juga itu tadi bagaimana agar kita memegang prinsip hidup, punya jati diri dan nantinya berujung kita bisa menghargai diri dan sekaligus menghargai pengalaman orang lain.

Saya tidak mau tanggung-tanggung bertindak. Saya kira penting bahwa anak-anak tahu prakteknya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi darimana pula mereka belajar kalau bukan dari pengalaman orang tuanya sendiri, seorang yang mereka percaya dan mereka lihat sehari-hari. 

Oleh karena itu saya lalu memutuskan bahwa saya akan menitipkan sebuah rahasia kelam masa lalu. Rahasia yang bahkan tidak saya ceritakan ke siapapun, saking absurd-nya kejadian itu. 

"Bunda pernah bohong pada teman-teman, untuk sesuatu yang ngga penting." 

Anak-anak terperangah.

"Jadi waktu itu di awal masa SMP, Bunda sendirian yang tidak punya pacar. Karena ya ngga kepikiran juga. Pernah ada yang mengirimkan surat dari sekolah lain, surat itu berakhir menjadi serpihan kecil. Setelah dibaca bersama-sama, sungguh sebuah sikap tidak terpuji. Mestinya surat itu disimpan saja kalaupun tidak suka. Masalahnya teman-teman suka ngompori tentang kenapa ngga punya pacar. Malangnya bunda ngga bisa menjawab. Suatu saat ketika terpojok, Bunda menjawab tangkas kalau pacarnya bunda namanya Indra Hadi, seorang dari daerah asal nenek, sehingga teman-teman tidak akan bisa tracking. Padahal Indra Hadi aslinya adalah nama yang ada di kerah baju batik kakek." 

Anak-anak ketawa lepas.

"Terus gimana Nda?"

"Ya ngga gimana-gimana, lupa juga Bunda. Intinya ngga ada lagi yang bahas. Terus ya Bunda beruntung waktu itu belum ada google search."

Anak-anak segera alert. Maklum mereka hidup di zaman internet sebagai alses utama informasi.

"Oiyaya, trik Bunda ngga bisa dipake sekarang, bakalan langsung terungkap."

Nah syukurlah kalau anak-anak paham tentang konsekuensi mengaburkan fakta di masa segalanya terang benderang bak siang hari. 

Tapi saya masih penasaran aja. 

"Nanti kalau sekolah, di jam istirahat akan bahas apa? Apakah jadi bingung karena bunda banyak ngasih batasan?"

Keduanya menjawab tanhgkas.

"Ya ngga dong Nda. Banyak yang menarik untuk dibahas, tentang novel yang dibaca pas corona, tentang kucing, tentang masak-masak selama di rumah. Ya banyaklah".

"Ifa biasanya bahas tentang komik atau novel sih Nda, teman-teman Ifa juga senang baca."

Olala, setelah saya mengungkap sebuah rahasia kelam yang selama ini disegel rapi, ternyata hanya begitu saja. Tapi yaudahlah ya.. 

Sisi positifnya, anak-anak tahu bahwa bundanya bisa melakukan kesalahan juga dan mau berbagi kisah. Jadi semoga anak-anak ntar mau berbagi rahasia juga. Seiring dengan itu tentu saya juga harus bersiap. Dan yang paling penting, sesi deep talk berikutnya mestilah well prepared. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga