Energi Pertemuan Pertama

Aneh, bahwa saya masih bisa mengingat dengan jelas, suasana saat awal berada di perantauan. Ketika itu saya tinggal di Bekasi Utara, kelurahan Harapan Jaya, komplek SBS. Saya ingat segala tentang komplek itu. Tentang tukang jualan dini hari hingga ke yang berjualan malam hari. Saya ingat juga semua tetangga-tetangga dekat rumah. Saya bisa mengingat jalan masuk Alexindo dimana abang becak berjejer di pinggir jalan. Tentang abang becak ini, saya bahkan ingat persis suasana pas naik becak. Maaf rada norak, di kampung saya ngga ada becak soalnya.. Ahaha..

Saya ingat setiap gang, juga ingat warung "Andalas" tempat kami belanja kebutuhan sehari-hari. Entah kenapa saya ingat apa yang saya rasa ketika melintasi jalanan itu di kali pertama. Rasa itu kira-kira semacam excitement, gamang sekaligus penasaran, gembira samar yang tidak dapat dijelaskan, dan juga semangat mengeksplorasi lebih jauh. Saya ingat aroma dan nuansa cahaya. Seakan dunia berputar lebih lambat agar saya bisa menangkap momen dengan lebih lengkap dan utuh. 

Kenangan awal masa merantau ini, biasanya saya panggil tatkala jenuh datang. Ketika keseharian terasa begitu-begitu aja, dan hal yang menarik tidak jua datang menyapa. Saya lalu memanggil kenangan lama. Masa dimana saya merangkul semua kejadian dan mengikatnya menjadi permata kenangan. Biasanya bagi saya efektif. Gang padat yang tadinya dirimbuni pot bunga dan ember cuci tangan, bisa terlihat lebih estetis. Saya sendiri yang menambahkan unsur pencahayaan yang dramatis di sana. Bahkan bunga terlihat lebih indah dengan gradasi warna yang menarik. Orang-orang juga terlihat spektakuler, karena saya melihatnya sebagai bagian dari fragmen (calon) kenangan. Bahwa kelak entah kapan, gambaran yang saya lihat sekarang bakal berpindah ke bentuk kenangan. Dan kelak saya akan mengenangnya dengan gembira.

Energi yang sama juga muncul ketika mengenang hari pertama berjumpa suami. Sekali lagi waktu berputar lambat. Bahkan ekstra lambat. Saya ingat parfum apa yang dipakai, saya ingat merapikan kemeja kuning bergaris hitam. Saya juga ingat bahwa saya menggunakan blazer semi formal. Ketika saya berada di depan mall, tempat kita direncanakan bertemu. Saya bertanya-tanya, apakah orang yang berada di bawah pohon dengan kemeja putih gombrong itu adalah orangnya? Ataukah seorang yang baru saja berjalan cepat melintasi saya? Ataukah orang yang berdiri di depan saya ketika saya di eskalator?

Saya masih ingat rasa gamang seakan berada di atas tali terentang. Saya sibuk memperkirakan apakah elok jika nanti mendadak batalin janjian makan siang. Bagaimana jika saya atau ia ilfeel duluan? Apa baiknya salaman terus saling terbuka tentang kita yang enggak klik. Ataukah perlu makan dulu sambil basa basi sekadarnya, lalu pamitan untuk tidak lagi berkomunikasi sesudahnya. 

Saya ingat bahwa rasa gamang itu hilang saat sudut mata menangkap sosok suami yang waktu itu masih berstatus calon tentunya, muncul dengan vest abu-abu diluar kemejanya.

Sekumpulan rasa itu, sesekali muncul ketika saya kesel tentang sesuatu yang ngga penting-penting amat. Dan ternyata efeknya menarik. Urusan mara mara akibat hal sepele biasanya hilang begitu saja, jika energi pertemuan pertama itu kembali menghuni ruang pikiran. Sebegitu dahsyatnya kenangan saat pertama kali berjumpa.

Untukmu, seperti apa suasana pada pertemuan pertama? 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga