Yang Pergi Tidak Kembali

Saya memiliki sahabat di masa kuliah, El namanya. Kami akrab sejak awal-awal masa perkuliahan. Dia adalah sahabat yang tahu segala hal tentang saya, bahkan tentang isi dompet pun ia akan tahu. Soalnya kami kerap berbagi sisa isi dompet di penghujung kiriman uang. Lebih seringnya sih saya yang mengadukan banyak hal ke El. 

Ia adalah sahabat saya yang tangguh. Pendiam mungkin bagi banyak orang, tapi sahabat yang meramaikan hati bagi saya. Kebersamaan kami bermula di pagi hari, saat makan lontong pical bersama di Pasar Baru. Kemudian bersama-sama pula naik bus kampus ke gedung kuliah nun jauh di atas bukit. Terkadang jam kuliah kami berbeda, karena kami beda jalur studi, tapi saat makan siang kami akan kembali bersama. Seringnya juga pulang bersama-sama. Kami akan mampir makan tahu brontak dan es rumput laut di simpang Pasar Baru. Lalu setelah kenyang menyeberang ke tempat peminjaman komik dan novel. Beberapa saat berikutnya, setelah selesai mencatatkan buku pinjaman, kami pergi ke kost nya El. Kami menyeberangi sungai kecil sembari ngobrol. Sesorean kami habiskan dengan membaca. Dan bercerita berbagai hal tentunya. 

Saat saya wisuda, saya masih bertemu El, saya makin sering nginap di tempatnya. Hingga akhirnya saya pergi ke Jakarta, mengadu untung sebagai anak rantau. Kami masih terus keep contact. Lalu El juga pergi ke Riau karena dinas penempatan, kami kian banyak ngobrol, terutama karena sama-sama sudah punya smartphone. Saya pun beberapa kali mengirimkannya buku. Kami sempat bertemu sekali, ketika saya pulang kampung. Lalu seterusnya kami terus berbagi cerita, hingga saya menikah. 

Lalu saya jadi sibuk. Saya kehilangan banyak waktu ngobrol dengan teman. Bahkan dengan mama pun saya kadang berbicara saat di kereta, karena sampai di rumah, saya sudah berkejaran dengan pekerjaan rumah. Dan kemudian terkapar kelelahan. Saya lamat-lamat menyadari bahwa saya telah kehilangan obrolan seru dengan kawan dekat. 

Di antara hectic itulah, adiknya teman terbaik saya itu menuliskan berita duka di laman medsos.

Saya terhenyak. 

Dan kehampaan menyergap. 

Ia tidak pernah bercerita tentang sakit deritanya, pun tidak berbagi cemas pada apapun. Ia hanya pergi, tanpa pernah saya bisa temui lagi.

Saya menangis beberapa lama. Dan butuh waktu lama sekali bagi saya untuk menghubungi ibunya. Maaf.. saya terlalu perih untuk berbicara. Bahkan kini setelah bertahun-tahun berlalu sejak kepergiannya, saya masih menangis mengingatnya. Sahabat yang saya cintai dan kagumi telah pergi, menyisakan satu bentuk koneksi berupa doa. 

Tahun lalu, empat adik mama meninggal dalam waktu dekat. Hati terkoyak tiada terkira. Terlalu banyak kenangan yang menyeruak. Hati terguncang amat sering hingga lelah dan tenggelam sedih. 

Akan tetapi, ucapan terakhir mama pada almarhum Apa terngiang di kepala. Saat itu Apa sudah selesai disholatkan. Mama, saya dan kakak semata wayang, duduk berjejer. Mata saya menggenang, namun saya menahannya agar tidak jatuh. Mama berkata, "Selamat jalan Da."  Mama mengucapkan dengan tenang dan penuh sayang. 

Bukankah sesungguhnya memang demikian. Yang pergi hanyalah mendahului sejenak. Kelak giliran kita yang mengikuti. Perkara kapan, hanya Allah yang tahu.

Entahlah, malam ini saya begitu merindukan yang telah pergi. Hanya berbekal pengajaran tentang maut dari guru kaji zaman dulu, yang membuat saya tidak meraung-raung di tengah malam ini.

Ya Allah, turunkanlah rahmat pada sahabat dan keluarga hamba yang telah mendahului hamb.. aamiin.. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga