Bukan Anak Petani Biasa

Di aula fakultas Sastra Mama berkaca. Saya memperhatikan wajah beliau dengan seksama. Wajahnya berseri namun kedua mata coklat itu telah digenangi air mata. Dengan mantap saya bisa memastikan Mama terharu bahwa saya telah menyelesaikan perjalanan menjadi sarjana. Tentu saja tidak urung rasa bahagia menyeruak. Saya bersyukur, hari itu bisa mempersembahkan kegembiraan kepada beliau berdua. 

Tapi ternyata ngga gitu. Saat di perjalanan pulang ke rumah, Mama mengungkapnya penyebab air mata yang luruh tiba-tiba itu, bukanlah karena haru biru seperti bayangan saya. 


 "Tadi disebutkan, Yesi Dwi Fitria, orang tua Asmal Bahar, pekerjaan petani. Apakah di data kampus dulu dibilang kalau pekerjaan Apa adalah petani? Kenapa ngga wiraswasta?"

Lah ya Apa kan memang petani.  Masak saya ngarang profesi lain di kolom pekerjaan orang tua. Saya nyengir. Tapi tak urung Mama berkaca-kaca lagi. Apa sih biasa saja. Beliau memang tidak banyak bicara seharian ini. Menurut Mama, terharu aja rasanya ketika anak-anak tidak malu menjadi anak petani. Dan tetap berdiri tegak saat nama dan profesi Apa diumumkan di depan publik. 

Saya sih ngga komentarin lagi waktu itu. Karena ya engga pernah kepikiran tentang malu jadi anak petani.

Ketika masih anak-anak dan menginjak usia remaja, saya ngga pernah mempedulikan tentang jadi anak petani ini. Kecuali suatu saat di kelas satu SMA. 

Apakah karena aku anak petani, sehingga yesi tidak mau pacaran denganku? 

Demikian sepenggal kalimat tanya di surat cinta yang singgah di meja sesaat sebelum pulang sekolah. Surat itu saya balas pendek. 

Aku juga anak petani. Tidak mau pacaran bukan karena pekerjaan orang tua.

Kirim. 

Via temen. 

Selain momen itu, saya tidak ingat apakah ada yang bahas. Sebagian mungkin karena rata-rata anak di sekolahan, ortunya petani juga. Jadi tidak ada tuh ledek-ledekan yang bertema profesi petani. Terus mungkin karena saya terlalu banyak membenamkan kepala dalam buku, jadi tidak pernah kepikiran dengan orang lain bahas apa. 

Ketika saya beranjak dewasa, saya malah bangga karena memiliki orang tua dengan profesi yang berbeda. Saya bangga memiliki bapak seorang petani yang memberikan banyak pengalaman penting dalam hidup saya. Padahal, ssstt.. Apa bukanlah petani biasa. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga