Surat-surat Yang Tak Terbalas

Ikut melambung bersama semangat Atya berkorespondensi, saya pun menuliskan surat untuk sahabat saya Rika, yang suratnya telat saya balas. Alasan menunda ini sungguh sederhana, Rika mengirimkan kepada saya sebuat craft keren hasil karyanya bersama surat tersebut. Ini yang membuat saya terpikir untuk mengirimkan sesuatu barang handmade juga untuk Rika.
Satu hari menunda balasan surat, dua hari menunda..
Seminggu sudah..
Sebulan sudah..
Begitulah tabiat dari orang yang suka menunda. Bahkan hingga sekarang, balasan untuk Rika belum terkirim. Aargh...
*toyorkepalasendiri

Kini semangat Atya membuat saya tersadarkan.
Thanks so much duhai putri berpipi bulet.

Selain penyesalan mengenai balasan surat untuk Rika, saya merasa tertekan untuk satu hal lain, satu hal yang membuat saya sedih sekali dan bertekad menyelesaikannya segera.
Begini loh, setelah saya kabarkan bahwa saya sudah mendapatkan alamat Bu Ida dan no contact Mbak Luluk kepada Atya, Atya sungguh amat gembira, wajahnya berbinar penuh semangat.
Saya merasa pemandangan ini priceless.
Terbayang nanti menemani Atya menyiapkan surat dan mengantarkan Atya ke kantor pos. Atya bakal senang sekali dengan pengalaman baru ini.

Tapi sontak kenangan menghanyutkan saya ke puluhan tahun silam *ah jadi ketauan tua deh :p
Saat saya asyik berkirim surat dengan sahabat pena di berbagai wilayah Indonesia. Rasa bahagia kalau sudah pergi ke kantor pos dan mengeposkan surat untuk teman-teman. Meskipun jarak kantor pos sungguh jauh dan saya perlu berjalan kaki satu jam untuk mengunjungi kantor pos.
Dari kenangan itu, saya melompat ke kenangan lain, kemudian langsung merasa hampa.
Kenangan bahwa saya mengabaikan surat dari delapan anak!
Mengingatnya membuat saya didera perasaan bersalah.

Ini adalah tentang anak-anak baik hati dan penuh kegembiraan di tempat KKN saya dulu. Anak-anak yang riang mengajak saya bermain ke rumahnya seusai kita mengaji di masjid. Anak-anak yang mengantarkan duren ke posko KKN. Anak-anak yang membawa saya mengembara ke perbukitan dan lembah-lembah. Anak-anak yang berlarian di belakang mobil yang membawa saya menjauh dari mereka.

Beberapa lama setelah masa KKN berakhir, saya teringat kembali dengan anak-anak ini, dan menemui mereka kembali.
Kampung yang damai tersebut hanya dua kali sehari dilalui bus. Jadi saya perlu tepat memilih waktu agar tidak ketinggalan bus yang bertolak dari kota Bukittinggi ini. Perjalanan penuh belokan membawa saya melewati bukit-demi bukit, melintasi tempat saya pernah ngumpul-ngumpul bersama pemuda desa, tempat kami duduk tengah malam menunggu durian jatuh. Saya juga melewati rumah dinas bidan desa tempat kami pernah bermalam di suatu malam yang gerimis.
Haru.
Namun tidak seharu saat saya sudah hampir sampai di rumah posko kami dahulu. Saat itu bus kami berhenti di dekat lapangan bola. Di pinggir jalan ternyata ada banyak anak-anak habis bermain sepak bola, sebahagian besar di antara mereka adalah adik-adik teman main saya dulu. Saya yang tengah berbicara dengan penumpang di samping saya, melongok keluar saat mendengar percakapan anak-anak dari luar bus.
Obrolan yang membuat saya tidak menyesal datang kembali.
"Kenapa kita perlu melihat orang-orang turun dari bus?' tanya seorang anak.
"Siapa tahu ada kak Yesi di dalamnya." jawab temannya.
Aaaakkk... so sweet banget kan..
Otomatis senyum saya mengembang.
Dua hari bersama mereka saat itu pun terasa sangat kurang.

Beberapa bulan kemudian, ada kunjungan guru-guru SD dari nagari KKN saya tersebut ke nagari kami. Saya sedang ada di puncak bukit saat mendengar kabar kunjungan studi banding SD inti tersebut. Bergegas saya melompat turun dari pohon kopi, mengemasi kopi yang saya petik, kemudian mencari papa yang berada di lereng bukit yang lain. Beberapa menit kemudian saya bersama papa segera berlari menuruni bukit.
Alhamdulillah masih sempat bertemu.
Saya gembira bertemu dengan ibu dan bapak guru yang sudah saya anggap orang tua. Setelah makan siang bersama dan beramahtamah melepas kangen, salah seorang ibu guru menyerahkan surat-surat titipan dari adik-adik yang saya rindukan.


Malangnya, saya kemudian sibuk dalam penyelesaian kuliah, malangnya lagi, tempat KKN tersebut tidak tersentuh sinyal ponsel. Dan kemudian saya sudah pergi meninggalkan kampung.
Sekarang melihat binar mata Atya, saya terbayang suram mata adik-adik saat kakak yang dulu dekat dengan mereka ternyata tidak pernah membalas surat.
Huhuhu...
Kini mereka tentunya sudah remaja, semoga belum terlambat, semoga saya bisa menemukan cara menghubungi mereka, dan semoga adik-adik yang manis ini mau memaafkan saya, kakaknya yang lalai ini  hiks..

tulisan ini disertakan dalam project #ODOPfor99days #day32

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga