Saya Bukan Perempuan Tangguh
Saya kira, saya tidak banyak berpikir saat kejadian pecah ban kemaren, saya
hanya melakukan tindakan yang dirasa perlu di masa kritis. Saat kondisi gawat
darurat tersebut berhasil dilewati, saya lantas disibukkan kegiatan perawatan (baca: mondar mandir),
dan juga meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan anak-anak.
Ketika beberapa hari kemudian saya posting kejadian ini dan ada rekan suami yang bilang saya adalah perempuan yang kuat dan tangguh, saya tidak bisa menanggapi. Karena saya merasa masih cengeng dan banyak menangis, saya jauh sekali dari ciri seorang yang tangguh. Jika kejadian kemaren berhasil dilalui dengan kepala dingin, itu adalah karena peran almarhum papa dan juga sekeluarga yang ada di mobil kemaren.
Almarhum papa memberikan andil besar dalam urusan ini. Papa yang mendidik saya untuk selalu berpikir tenang dalam kondisi apapun. Dulu sekali ketika kami di perkebunan kopi dan panen kopi hanya berdua saja, papa berkata "Papa akan ke sisi lereng bukit yang sana, jika ada babi hutan berlari kesini tetap tenang dan panjat pohon kopi terdekat."
Saya mengangguk setuju, memang tidak banyak gunanya menjerit histeris dalam kondisi dikejar babi hutan.
Papa juga memperlihatkan wajah tidak suka kalau saya gampang kagetan. Jika atap tiba-tiba berbunyi gedebuk keras di tengah malam, jangan mudah kaget karena bisa saja pada esok paginya kita temukan bahwa itu hanya sepotong jambu yang dijatuhkan kelelawar.
Demikianlah, beratus pemahaman dan teladan dari papa mengenai bersikap tenang dalam kondisi apapun. Kali ini saya sungguh mengingat papa dan bersyukur atas didikan papa.
Hal kedua yang membuat saya kuat adalah, kita semua seisi penumpang nggak ada yang panikan. Tidak ada suara jerit-jerit panik histeris dari siapapun, kecuali da Yose yang sakit saat kakinya ditarik, tentu saja. Tapi ini pun wajar, mengingat luka parah di kaki uda. Maksud saya karena semua kita bersikap tenang maka saya bisa tegar dan melakukan hal-hal yang diperlukan. Andai ada satu saja yang panik menjerit-jerit, saya jadi menghabiskan energi dan waktu untuk menenangkan terlebih dahulu.
Jadi sungguh, saya tidaklah tangguh, saya hanya anak yang ingin merawat dan membuat ibunda merasa nyaman, istri yang menjadi partner suami di masa darurat, adik perempuan tempat uda Yose bersandar saat diperlukan, kakak perempuan yang berlinang air mata saat menyuapi adik yang giginya patah dan bunda yang tersenyum saat kembali ke anak-anak.
Pada akhirnya, saat sore tiba dan suami sudah kembali, saya meminta suami dan anak-anak memeluk saya bersama-sama. Demikian juga di hari-hari berikutnya, saya banyak minta dipeluk. Saya bukanlah perempuan yang kuat.
Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day74
Ketika beberapa hari kemudian saya posting kejadian ini dan ada rekan suami yang bilang saya adalah perempuan yang kuat dan tangguh, saya tidak bisa menanggapi. Karena saya merasa masih cengeng dan banyak menangis, saya jauh sekali dari ciri seorang yang tangguh. Jika kejadian kemaren berhasil dilalui dengan kepala dingin, itu adalah karena peran almarhum papa dan juga sekeluarga yang ada di mobil kemaren.
Almarhum papa memberikan andil besar dalam urusan ini. Papa yang mendidik saya untuk selalu berpikir tenang dalam kondisi apapun. Dulu sekali ketika kami di perkebunan kopi dan panen kopi hanya berdua saja, papa berkata "Papa akan ke sisi lereng bukit yang sana, jika ada babi hutan berlari kesini tetap tenang dan panjat pohon kopi terdekat."
Saya mengangguk setuju, memang tidak banyak gunanya menjerit histeris dalam kondisi dikejar babi hutan.
Papa juga memperlihatkan wajah tidak suka kalau saya gampang kagetan. Jika atap tiba-tiba berbunyi gedebuk keras di tengah malam, jangan mudah kaget karena bisa saja pada esok paginya kita temukan bahwa itu hanya sepotong jambu yang dijatuhkan kelelawar.
Demikianlah, beratus pemahaman dan teladan dari papa mengenai bersikap tenang dalam kondisi apapun. Kali ini saya sungguh mengingat papa dan bersyukur atas didikan papa.
Hal kedua yang membuat saya kuat adalah, kita semua seisi penumpang nggak ada yang panikan. Tidak ada suara jerit-jerit panik histeris dari siapapun, kecuali da Yose yang sakit saat kakinya ditarik, tentu saja. Tapi ini pun wajar, mengingat luka parah di kaki uda. Maksud saya karena semua kita bersikap tenang maka saya bisa tegar dan melakukan hal-hal yang diperlukan. Andai ada satu saja yang panik menjerit-jerit, saya jadi menghabiskan energi dan waktu untuk menenangkan terlebih dahulu.
Jadi sungguh, saya tidaklah tangguh, saya hanya anak yang ingin merawat dan membuat ibunda merasa nyaman, istri yang menjadi partner suami di masa darurat, adik perempuan tempat uda Yose bersandar saat diperlukan, kakak perempuan yang berlinang air mata saat menyuapi adik yang giginya patah dan bunda yang tersenyum saat kembali ke anak-anak.
Pada akhirnya, saat sore tiba dan suami sudah kembali, saya meminta suami dan anak-anak memeluk saya bersama-sama. Demikian juga di hari-hari berikutnya, saya banyak minta dipeluk. Saya bukanlah perempuan yang kuat.
Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day74
Comments
Post a Comment