Anak Bu Mar

Beberapa hari setelah menikah, suami bertemu dengan seorang temannya yang ternyata sekampung dengan saya, masih satu kecamatan.
Suami yang lagi ngobrol lalu memperkenalkan saya ke temannya.
Eh ternyata temannya itu nggak kenal saya, saya pun nggak kenal dia.. haha.. 
Hiyaaa.. ceritanya jadi mbulet :) 

Suami lalu menambahkan, kalau saya adalah putri Bu Mar.
Si teman langsung ngeh dan seketika mengenali saya.
Kelak di masa mendatang, jika ada kesempatan yang terkait kenalan ke orang sekampung, suami mengenalkan saya plus menyebutkan nama mama.

Di satu sisi kenalan dengan menyebutkan nama mamamembuat perkenalan menjadi lebih efisien dan langsung dikenali. Tapi di sisi lain saya sedih juga loh..
Udah umur segini tapi kok ya nggak punya karya yang membuat kita dikenali karena diri sendiri. Sejak kanak-kanak hingga bekerja, saya tetaplah mengenakan label anak Bu Mar. 

Habis bagaimana lagi.. mama adalah kepala sekolah yang telah berpindah-pindah tempat tugas. Kemudian mama juga aktif di bidang kesenian dan PKK. Mama juga adalah bagian dari majlis ulama di kampung. Mama kerap memberikan pengajian juga di masjid. Saya mengira bahwa akan selamanya saya ada di bayang-bayang mama. Ketika saya mengikuti project Safari Ramadhan di masa SMA, usai memberikan materi, orang-orang akan mengangguk dan bertanya apakah benar anak Bu Mar?
Huhuhu...

Ketika saya sudah menikah dan ikut suami, warga di sekitar tempat tinggal kami langsung menyapa saya "uni" karena seluruh warga memanggil suami dengan "uda". 
Lagi-lagi saya dikenal di sini sebagai istrinya uda. 

Memiliki mama yang dikenali banyak orang sebenarnya adalah kebanggan tersendiri, dan saya juga jadi punya banyak orang tua yang ikut mengawasi. Memiliki suami yang akrab dengan warga juga memudahkan saya bersosialisasi. Hanya di dalam hati saya bertanya-tanya tidak bisakah saya dikenali karena  sesuatu dalam diri saya.

Episode berubah saat saya menjadi koordinator di Institut Ibu Profesional. Saya mulai belajar memahami potensi diri, dan mengerti bahwa saya memang tidak layak dikenali. Saya belum berkarya, belum menggali diri, belum memulai perjalanan. Pantas saja selama ini saya hanya manyun di balik bayang-bayang.

Ketika saya sudah menjadi ketua IIP Jakarta, saya mendaftarkan mama yang sudah lama tertarik ikut belajar dan berbagi di IIP. Mama pun memperkenalkan diri di group.
"Perkenalkan, saya Mama Mardiah, bundanya uni Yesi."
Berpuluh kilometer dari mama, saya membaca chat tersebut dengan mata berlinang. Ini bukanlah sebuah pencapaian, ini adalah permulaan. Semoga saya bisa belajar dan istiqomah menjadi perempuan yang lebih baik, bagi diri sendiri, bagi suami, bagi mama, bagi anak-anak dan masyarakat di sekitar saya. Aamiin...

Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day93

Comments

Popular posts from this blog

I am Small & Perfect

Kala Sahur, dan Segelas Kopi yang Tidak Manjur

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga