Tetesan Hujan di Ujung Daun Tomat


Menakutkan, sungguh sangat mengerikan apabila hujan deras datang di lembah kami. Pertama-tama, rumah panggung kami yang beratapkan ilalang itu berdiri sendirian di tengah lembah. Karena kedua bukit dan sepenjuru persawahan adalah tanah ulayat dari keluarga besar papa, tentu saja tidak akan ada orang lain yang tinggal berdekatan.

Rumah kayu kami akan diterpa hujan dari berbagai sisi. Belum lagi gemuruh air yang menuruni bukit dan memenuhi sungai kecil di belakang rumah. Mata air yang terbit di ladang kopi kami pasti juga tak henti mengalirkan airnya.   Segenap potongan ranting dan humus pastilah kini tengah beranjak turun. 

Lebih dari rumah kami yang berderak di tengah badai, saya mencemaskan puluhan ekor induk ikan di sisi kanan rumah. Apabila tanggulnya tidak sanggup menampung air,  induk ikan yang berharga itu akan hanyut terbawa air deras. Apalah daya mereka di antara derasnya air coklat itu. Mereka sudah terbiasa dengan kolam yang nyaman. Apabila kami melintasi pinggir kolam, mereka akan segera menghampiri. Apabila kami memberinya makan, mereka akan makan dari telapak tangan. 

Risau, sungguh membuat risau.


Entah mana yang paling merisaukan dari kolam kecil yang berisi bayi ikan mas. Baru tadi pagi mereka menetas, air coklat tidak akan menghampiri mereka karena mereka berada di bawah pohon kersen yang rindang. Tapi bagaimana jika dahan kersen yang kini meliuk itu patah. Sungguh sukar dibayangkan.


Saya menyadari di suasana badai begini, keluarga bebek, kambing, dan ayam tidak bersuara sama sekali. Apakah mereka ketakutan juga? 


Saya bahkan tidak berani memikirkan dahan tomat di sana. Sawah yang ditanami tomat berada cukup tinggi dari rumah sehingga saya tidak bisa melihatnya. Meski demikian saya bisa membayangkan betapa runduk kini dahannya. Pikiran saya berpindah dari tomat ke bibit padi, bahkan saya memikirkan pohon kopi di atas bukit. Hingga tertidur di antara deru air sungai dan gemuruh hujan. 


Malam yang lelah, memyambut pagi yang basah. Kami akan menghabiskan waktu memeriksa keluarga besar kami di lembah. Apakah kandang kambing kebasahan? apakah ada pematang yang runtuh? 

Apakah ada batang jagung yang rebah diterpa angin kencang? 


Namun yang menderita kerusakan paling parah adalah hamparan tomat, dahannya merunduk dan perlu diurus segera. 

Meski demikian tomat pula yang paling bergembira. Karena hujan menyuburkan tanah, humus daun kopi dari atas sana sudah berpindah ke hamparan ladang dan sawah. 

Badai tidak terelakkan. Ketika ia datang kita hanya bisa berlindung. Namun badai mengajarkan kita satu hal, bahwa ketika ia reda, segeralah bangkit dari pelukan selimut. Bergegas mengatasi sisa badai sambil menikmati siraman cahaya hangat matahari. Kehangatan pagi terasa damai, jika dada menerima badai dengan lapang. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga