Kisah Dapur dan Mahkota Ratu

 


Resep nenek untuk cumi kuah pedas: 

Tumis bawang merah, setelah wangi, masukkan bawang putih giling, jahe giling, daun, lalu masuk cabe giling, masukkan cumi aduk sebentar tambahkan asam kandis dan terasi, serta air setelah air nya mendidih tutup kecilkan api. Kalau sudah empuk cumi, baru angkat. 

Saya hanya diberikan chat begini, tidak ada takaran apa-apa. Nenek mestilah berasumsi bahwa saya akan bisa mengira segala bumbu dengan kekuatan jemari. Haha. 

Ketika saya menerima chat ini, saya membacakannya ke uda. Yang lantas berkomentar bahwa saya perlu menambahkan irisan tomat di akhir, sesaat sebelum mengangkat cumi.

Pernahkah saya cerita bahwa uda far far away lebih jago masak dari saya. Bahwa uda terbiasa masak nasgor dalam wajan teramat besar. Dan yang paling penting rasanya amat enak. Belakangan uda rajin sekali membuatkan kue bolu. Tanpa sekalipun berada di kemuraman akibat mengalami kondisi kue yang bantat. Selain itu, perempuan hebat di keluarga uda semuanya jago masak. Saking hebatnya, saya tidak berani menyalakan kompor di dapur ibu mertua. Inferior. 

Sungguh mematikan rasa percaya diri. Heuheu.. 


Maka demikianlah yang terjadi. Ketika Atya ingin cumi seperti masakan nenek. Saya mencemplungkan segala bahan ke wajan dengan takaran versi saya. Lalu terakhir memasukkan irisan tomat. 

Amzing, anak2 suka. 

"Ini seperti masakan nenek, bahkan lebih enak." 

Saya tersipu.

Lalu merasa cukup.

Soalnya saya dan uda punya kesepakatan penting: Bahwasanya, saya bagaimanapun berusaha tak akan sanggup memenuhi ekspektasi uda terhadap standar makanan lezat. Sehingga asalkan anak-anak suka dan bisa makan dengan lahap, maka itu sudah cukup. 

Standar Atya dan Ifa sendiri lumayan detil. Misalnya, Ifa engga suka pada tangkai sayur kangkung. Atya sendiri suka pada jagung yang banyak paca sayur asem. 

Ini sebenarnya mengingatkan saya pada kisah Jang Geum, di drama korea legendaris, Jewel in Palace. Drama korea ini berkisah tentang dayang dapur yang kemudian menjadi dokter perempuan pertama. Entah kisah ini benar terjadi atau hanya fiksi. Namun saya mengambil pelajaran penting: 

Seorang tukang masak mestilah memasak sesuatu yang tidak hanya lezat namun juga sehat. Maka chef perlu memahami dulu orang yang akan memahami masakannya. Dikisahkan bahkan untuk menyodorkan segelas air putih pun, seorang perlu riset terlebih dahulu: 

- bagaimana tenggorokanmu

- apakah tidur nyenyak

Maka setiap pagi, saya ikutan bertanya pada kedua putri.

"Ingin makan apa?"

Seraya mengamati wajah keduanya. Apakah matanya cukup berbinar. Apakah pilek. Ataukah cenderung pengen berbaring karena lelah. Dari sana saya memutuskan apakah akan memasak sop atau membuat berbagai gorengan.


"Hanya ada satu ratu di dapur."

Ini kalimatnya sahabat saya, berpuluh tahun lalu. Yang kalau saya renungkan ya mungkin memang demikian. Dapur selayaknya istana yang hanya bisa dihuni satu penguasa saja. Yang lain sifatnya adalah dayang semata. Ratu yang akan menentukan di mana garam berada. Dia juga yang memposisikan kotak-kotak bahan makanan di kulkas, sesuai dengan preferensinya. Sutil dan peralatan lain juga disusun sesuai maunya sang ratu. Karena segalanya mesti di-setting untuk memudahkan dirinya. 

Di rumah kecil kami, mama adalah ratu di dapur. 

Saya hanyalah dayang pembeli bahan makanan dan dayang pembersih dapur. Kalaupun saya turun memasak, hanya untuk makanan anak-anak. Serta sambalado hijau. Mama lebih suka menyuruh saya yang membuat lado hijau. Ini satu-satunya masakan yang menurut mama, lebih enak saya yang bikin ketimbang mama. 


Saya sendiri tidak bisa memasak. Di masa kanak-kanak, saya dan papa memasak sebisanya. Lalu saya beranjak besar, kuliah dan bekerja, sehingga tidak lagi pernah masuk dapur. Saya akan menimpakan kesalahan ini pada pihak lain. Saat kuliah, saya tinggal di kawasan Pasar Baru, dimana ada banyak makanan yang pas untuk anak kost. Di pagi hari, saya dan El teman saya alm, akan makan lontong gulai paku. Kemudian sepulang kuliah, kami bisa makan tahu brontak dulu. Sayur dan lauk lainnya juga bisa dibeli dengan mudah. Lebih efektif dan aman untuk kantong tipis mahasiswa. Ketika saya pindah ke Jakarta dan tinggal di Bendungan Hilir, saya menyadari bahwa saya tidak perlu menyentuh wajan sama sekali. Benhil adalah gudangnya makanan enak. Bahkan hingga sekarang, saya belum ketemu seafood yang enaknya seperti di Benhil. Belum lagi rumah makan Surya, dan juga Bakso Benhil. Yang kalau kata mama adalah bakso terenak yang pernah mama makan. Jangan tanya tentang masakan selama bulan puasa. Tenda di Benhil sama halnya seperti di pasa Payokumbuah. Ramai dan penuh makanan enak.


Faktanya, sekarang mama memilih tinggal di kampung untuk sementara waktu. Saya sampai kerepotan menjawab pertanyaan sahabat mama di sekeliling rumah yang tiap pagi bertanya kenapa mama belum balik Jakarta.

Situasi ini menyebabkan mahkota ratu tergeletak begitu saja di lemari dapur. Di samping kotak baking pan. Saya tidak berani menyentuhnya. Karena saya tidak memiliki kualitas seorang ratu di dapur.

Lalu kami sekeluarga kecil ini makannya gimana?

😀

Ibunda mertua menanyakan ini ke saya waktu berkunjung ke Jakarta. Pasalnya saat di bandara, saya menceritakan tentang baby Ara yang sudah bisa merangkak kemana-mana. 

Pertanyaan ibu terjawab begitu kami sampai di rumah. Ada panci berisikan sayuran kangkung setengah disiangi di atas meja. Ada bawang merah yang sudah dikupas di dalam kotak dan ikan yang telah dibumbui. Sayya tidak bisa memasak, namun pastinya saya perlu menghadirkan makanan seimbang di dalam rumah. Maka saya melaksanakan sebisanya. Jika baby Ara terlelap sejenak, saya mengejar food preparation. Mem-blender atau membumbui sesuatu. Kemudian ditinggal untuk dijumpai lagi jika situasi terasa sudah aman. Kadang saya sama sekali tidak bisa kembali. Hiks.. Jika kedua anak sekolah punya materi pelajaran yang berat dan hafalan surah-nya demikian panjang, lalu baby Ara ngga kelar-kelar minum susu. Maka dapat dipastikan bahwa semangkuk sayur yang disiangi tadi akan masuk ke kulkas. Dan saya akan mengirimkan pesan cepat ke suami. Mengabarkan situasi dengan lugas dan permintaan bantuan untuk mengatasi ini. Di sore hari, kami lalu mengatasinya dengan tangkas, entah saya memasak suatu masakan sederhana dengan sigap. Atau kami menyerahkannya pada pihak yang ketiga. Pada penjual soto madura misalnya 😀

Meski demikian. Dengan keterbatasan ini setidaknya ada tiga piring di bawah tudung makanan. Terdiri dari lauk hewani yang tidak pedas, sayur, sesuatu dari protein nabati. Prioritas utama di rumah tetaplah kesejahteraan anak-anak. Tapi kami punya cara sendiri mencapainya. 


Note: 

Pict yang menyertai tulisan ini adalah foto pangek Situjuah. Sebuah makanan khas kampung saya. Saya bertekad untuk menjadi ratu di dapur jika sudah berhasil memasaknya persis seperti buatan mama ini. 

Hanya saya yang bisa mengajarkan atya tentang KPK dan bilangan pecahan campuran, dan saya saja yang bisa menuturkan surah al alaq beratus kali pada Ifa. Pun hanya saya yang bisa mentusui dan mengayun baby ara hingga terlelap.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga