Malam Terang Bulan Purnama


Almarhum papa saya adalah seorang petani yang serba bisa. Beliau tidak hanya cakap mengolah lahan, namun juga jago dengan kerajinan tangan. Berikan saja segelondongan kayu kepadanya, maka akan bisa menjadi meja, lemari, rebana, atau mainan. Apa (panggilan saya untuk papa) juga bisa membuat jala ikan dan lukah, lukah adalah bubu penangkap belut. 

Beliau biasa membuat lukah sehabis magrib, untuk mengisi waktu istirahat. Kelak jika sudah jadi barang 15 buah, Apa akan menaruhnya di sawah yang habis dipanen. 


Lukah selalu ditaruh di sore hari. Karena belut akan keluar dari lubang persembunyiannya pada malam hari. Di dalam lukah, Apa menaruh sejumput umpan. Agar banyak belut yang terperangkap di dalamnya. Setelah semalaman lukah ditempatkan, esok paginya Apa akan mengambil lukah-lukah itu. Tak jarang di dalam satu lukah, ditemukan dua atau tiga ekor belut.

Menyenangkan sekali jika Apa pulang menyandang pikulan berisi puluhan lukah yang  sarat berisi belut. 


Namun ada satu malam dimana Apa tidak akan mengantarkan lukahnya. Yaitu pada malam bulan purnama. Sinar rembulan yang terang di malam purnama akan membuat belut enggan keluar dari lubangnya. Jika tetap bersikeras menaruh lukah, maka keesokan hari nihil hasilnya. Sia-sia bersusah payah mengharungi lumpur hanya untuk mengangkut lukah tanpa isi. 


Saya kira dalam beberapa aspek, sebagian dunia usaha saat ini terasa seperti malam terang bulan. Ada usaha yang akan sia-sia di tengah pandemi. Ini tentu saja membuat kegelisahan tak bisa dielakkan. 


Namun pada malam bulan purnama, Apa akan mencari kegiatan lain. Kadang menelisik jala ikan, atau membuat kabinet mungil untuk kamar saya. Apabila pagi tiba, Apa akan menikmati kopi dengan lebih nyaman, karena tidak perlu menjemput lukah di sawah.


Saya bertanya-tanya, bisakah kita melihat situasi sulit masa kini bagai malam terang bulan.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga