Bagai Dewangga

 


Kukatakan pada puteri pertama. 
Alangkah jemu keseharian kita. 
Pada selarik sinar pagi yang menerangi dapur. Kita buktikan bahwa kita mampu mengejar matahari. 
Bahkan ia belum sempurna bertahta ketika kita duduk menghadapi meja.  
Dengan rambut wangi dan tersisir indah. 
Lalu kita menenggelamkan kepala di antara buku-buku. 
Lalu hening. 

Apabila siang mengambil tongkat pagi, kita terengah lelah. 
Dan membiarkan karpet lembut mengusap punggung yang kaku. 
Entah apa yang kita lakukan. 
Tapi senja tiba-tiba menyapa. 
Hangat. 
Tapi kita merasa kurang. 
Karena kita telah terlalu lama berdiam dalam rumah. 
Rajin mengamati perubahan waktu. 
Dan kita juga kerap merasa jengah tanpa alasan. 
Alangkah jemu. 
Tentu saja demikian kukira. 
Andai tidak ada bayi berpipi putih bulat di rumah kami.
 Ia hadir tepat saat kami memerlukan alasan untuk selalu ceria.
 Ia bagai dewangga.

Comments

  1. Bayi ... udah mau setahun aja
    jalan-jalan biar ga bosen, Uni ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga