Memandangi Portulaca

 


Salah satu adik sekampung saya saya sayangi bagai adik sendiri, mengeluh dengan jujur pada saya di suatu pagi.

"Kenapa ya Uni, virus covid ini munculnya sekarang, bukannya waktu aku SMA dulu," keluhnya saat memandangi anak-anak saya yang belajar jarak jauh.

Saya nyengir. 

Adik-adik remaja yang suka nginap di rumah saya ini memang terbiasa lugas kalau sudah curhat. 

"Kenapa emangnya?" Saya pura-pura bertanya. Meski sesungguhnya saya sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini. 

"Kalau corona sudah dari dulu, aku kan ngga perlu harus mandi pagi," jawabnya dengan penuh sesal. 

Saya terbahak, tanpa bisa dicegah.

Ah, pagi memang masa yang melenakan. Alangkah seru sekali jika pada pagi hari, kita bisa duduk melamun. Seraya mengamati orang-orang yang sibuk beraktivitas. Tentu saja dengan secangkir teh hangat di atas meja. Akan tetapi hidup tidak mengizinkan kita bertindak demikian. Pandemi di satu sisi mendidik anak untuk tangguh melawan dirinya sendiri. Tidak ada kewajiban mereka perlu mandi pagi. Toh bunda dan bapak guru di sekolah, tidak bisa mencermati sampai ke sana. Juga tidak akan lagi diperhatikan apakah mereka belajar sambil ngemil atau tiduran. 

Ini adalah era dimana anak menentukan sendiri sosok mereka di masa depan. Lalu merancang kegiatan yang sejalan dengan impian mereka. 

Tapi saya kira, andai pagi hari putri saya duduk di halaman, memandangi portulaca yang mekar di bawah sinar matahari. Saya akan membiarkannya. Untuk lima menit saja 😁

Karena setelah itu mereka tahu, ada tanggung jawab yang telah mereka genggam erat.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga