Kisah Seledri

Foto di atas adalah foto sawi kita yang lagi ijo-ijonya. Tapi yang dibahas kali ini bukan sawi sih, melainkan seledri. Berhubung nggak punya foto seledri ya sudahlah ya.. foto sawi aja yang diposting.. :p

Pagi ini saya terpikir untuk mengabarkan berita tentang tanaman seledri kami yang tumbuh dalam satu pot kecil. Biasanya pagi-pagi ini saya suka ngayal  merencanakan kegiatan craft apa yang akan saya kerjakan bareng anak-anak nanti malam, atau berbagai pemikiran tentang IIP Jakarta. Namun pagi ini benak saya dipenuhi si seledri hijau segar.

Seledri adalah bagian masakan yang tingkat kebutuhannya lumayan tinggi di dapur kami. Sebagai bumbu nasi goreng, taburan sop buntut, juga  bumbu penyerta dalam telur dadar. Untuk itulah saya selalu terpikir untuk menanam seledri

Sayangnya upaya menanam seledri ini lebih banyak gagalnya ketimbang berhasilnya. Saya menduga penyebab utamanya adalah karena saya menanam seledri dari seledri yang saya beli di pasar Ciracas. Akarnya yang sudah mulai mengering sepertinya tidak sanggup lagi melanjutkan petualangan. Meskipun sudah saya bujuk sepenuh hati. Saya siram baik-baik sambil dzikir. Juga diajak ngobrol supaya berkenan tumbuh subur di teras kami.
Yang barusan serius loh.
Saya mengidap penyakit suka bicara dengan tanaman, dulu waktu kecil sih kenceng-kenceng ngomongnya, namun kini sih cukup dalam hati aja.
Apa saya sesungguhnya sakit jiwa.
Hihi..
Semoga tidak ya...

Jauh sebelum ada penemuan Masaru Emoto perihal the hidden message in water, papa suka sekali menjadikan air bunga dalam mangkok sebagai obat, padahal aslinya semangkok air tersebut saya siapkan untuk urusan estetika.
Ceritanya duluuu.. saat pagi hari saya berkeliling rumah memeriksa tanaman, saya suka mengumpulkan kelopak bunga yang berguguran, atau kadang sengaja memetik satu kuntum bunga untuk saya taruh dalam mangkok kecil berisi air untuk penghias meja.
Niatnya sih buat gegayaan aja :)

Tapi papa bilang, karena saya selalu membaca dzikir saat menyiram tanaman dan juga pada saat mengambil air di mangkok, maka papa bisa menjadikannya sebagai obat. Saya pikir papa hanya ingin menyenangkan hati saya.

Sepuluh tahun berikutnya, saya tercengang membaca artikel dari Masaru Emoto:

water was a "blueprint for our reality" and that emotional "energies" and "vibrations" could change the physical structure of water.

Saya manggut-manggut mengerti saat membaca penelitian ini, yang mau tahu lebih lanjut, silakan googling aja ya.. :P


Cukup tentang 'kegilaan' saya tadi, mari balik lagi ke kisah seledri kami.
Dua hari setelah saya tanam, seledri tersebut menyerah, melingkar lemah dalam pot. Saya pun menatapnya sedih.Usai sudah satu episode bersama seledri.

Tidak berapa lama kemudian mama membawa pulang satu pot kecil yang berisi seledri yang masih kecil. Mengingat kegagalan yang sudah-sudah, saya jadi menaruh harapan yang tinggi pada seledri yang ini. Bersama-sama tanaman lain, si seledri ini pun mendapatkan sinar matahari pagi dan siraman air beriring dzikir dan doa. Semoga kali ini kami sukses menanam seledri.


Ketika lebaran tiba dan kami sekeluarga pulang kampung, dua minggu lamanya urusan tanaman ditangani oleh bude. Kami pun pulang dengan tenang, tidak menyadari kalau nasib seledri kami ternyata di luar harapan.

Perjalanan hidup seledri pun terungkap saat saya balik ke Jakarta. Bude dengan cemas mengabarkan bahwa bude kehilangan daun seledri.
Seledri yang sedang tumbuh subur, tiba-tiba kehilangan semua daunnya di suatu subuh. Bude yang kaget  lalu memindahkan pot seledri yang sebelumnya di samping ke depan rumah, bersama sekumpulan pot anthurium. Pot mungil seledri kini sedikit terhalang rimbunnya daun anthurium.
Saya saat itu berkomentar ringan aja:
"Mungkin ada yang mendadak butuh seledri Bude."
"tapi kok ya diambil semua mbak."
"ya kali aja butuhnya semua bude."
Bude masih gak puas, tapi lega karena saya nggak marah.
Marah sih enggak yah, karena buru-buru ingat ilmu yang saya dapatkan dari mbak Suci dan Mbak Efi, guru  berkebun di rumbel. Bahkan jika tanaman kita habis dilalap bekicot pun, kita tetap perlu ikhlaskan dan tetap semangat menanam kembali.

Hari pun berlalu, hujan dan panas silih berganti singgah di teras rumah kami. Seledri kesayangan kami pun kembali tumbuh subur.

Eh tapi pagi ini semua daunnya lenyap.

Bude meledak kesal.
Dari semua tanaman, hanya seledri ini yang suka ngilang-ngilang gak jelas.
"Mbok ya kalau pada butuh seledri ya bilang to, tak ambilin yang di kulkas."

Saya penasaran juga sih, tapi ujung-ujungnya hanya nyengir.
Biarlah daun seledri yang hilang tetap jadi misteri. Bisa saja seledri ini hadir di antara tanaman kami, sebagai ujian, sebagai rezeki bagi makhluk Allah yang lain dan pemberi warna lain dalam kisah berkebun kami.

Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day117
#semesterpendek

Comments

  1. bentar mbak, maksudnya ini sleedri ada yg ngambil gtu yaa? ato daunnya hilang rontok semua? aku jg suka bgt ama seledri, tp memang ga punya kesabaran dan ketelatenan utk mliara tanaman sih :D . padahal aku suka bgt juga kalo ngeliat yg hijau2 gitu mneghias rumah.. jd semarak

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayaknya sih ada yang ambil ya mbak, karena rapi gitu potongannya :)
      ada juga yang dimakan kelinci tetangga yang nyasar tapi biasanya jadi berantakan pot nya.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga