"Bisakah kakak menjadi anak kedua saja Nda."



Atya sdh tertidur dari tadi, jauh lebih cepat dari biasanya. Mungkin lelah setelah mengikuti bunda ke wilayah barat Jakarta sejak pagi.
Pertanyaan sebelum tidur dari Atya  membuat saya cemas setengah mati..
"Bisakah kakak menjadi anak kedua saja Nda."
Pertanyaan yang keluar dari wajah tertekuk itu membuat kesedihan mengambang memenuhi kamar.
"Bukankah Atya adalah kebanggaan bunda?"
"Iya, kakak udah tahu, kakak senang Nda tapi Kakak tidak lagi pengen lagi anak pertama Nda."

Kakak kemudian diam.

Saya ikut terdiam. Tamparan keras ini membuat saya sibuk memikirkan poin kejadian mana yang merusak kebanggaan anak sulung ini. Ifa memang sedang membutuhkan perhatian lebih, tapi kita tidak pernah kehilangan quality time berdua setiap harinya. Tapi... bagaimana bisa saya yang mengukur kebahagiaan orang lain. Bahkan mengingat sebuah peribahasa pernah ungkapkan tentang ini, saya setuju bahwa saya rasa tidak layak untuk sok tahu pada perasaan orang lain bahkan anak sendiri pun juga tidak.

Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu.

Hiks...

Maka terhadap Atya yang diam, saya hanya bisa menemani. Hingga lama kelamaan berbagai cerita yang sama sekali tidak berhubungan akhirnya mampu mengurai masalah.

"Apakah anak pertama selalu sama kulitnya sama Ayah? Anak kedua kenapa selalu sama dengan bunda?"

Duh...
Bertahun-tahun saya menyiapkan diri untuk pertanyaan ini. Tapi saat Atya benar2 mempertanyakan, saya hanya bisa terdiam.

Butuh beberapa detik untuk memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menjawab hal ini..
Bimbang....
Apakah perlu dijawab detil tentang tidak pentingnya urusan warna kulit atau..
Atya cukup disemangati dengan banyak kalimat penuh dukungan. Sejumlah kalimat diketikkan cepat di kepala. Berwujud statement2 penuh energi yang diperkirakan mampu membuat putri lima tahun ini menggenggam erat sebuah pemahaman.
Atya menatap saya, menunggu.

Bismillah...
Semoga saya tidak salah bicara..

" Kakak memang mewarisi banyak hal dari Ayah, termasuk cara tersenyum dengan manis.."

Puluhan kalimat telah siap untuk meluncur setelah kalimat pembuka ini muncul.
Kalimat yang akan membekali Atya seumur hidup jika galau lagi untuk perbedaan2 ini.
Namun ternyata tidak perlu.

Pada kata terakhir, senyuman amat manis pun mengambang. Mengubah wajah manyun menjadi pipi bulet periang seperti biasanya.

Sepasang tangan mungil pun terangkat. Doa tidur naik ke langit, disusul doa pendek untuk kesembuhan mata Ifa.

Seperti pada banyak kejadian. Saya sering menangis ketika Atya dan Ifa sudah tertidur. Saya dan uda Fadli Rahman sungguh beruntung memiliki putri sebaik hati Atya dan Ifa.
Hanya mungkin... putri berdua ini akan selamanya kerepotan memiliki bunda yang di kepalanya berlarian banyak pemikiran.


Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day52

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga