Bunga Merah


Saat menonton film Jungle Book beberapa saat yang lalu di bioskop, saya bertanya-tanya apakah hewan benar-benar setakut itu pada api.  Api yang dinamakan bunga merah di film itu digambarkan sebagai momok yang mengerikan bagi para hewan. Baik akibatnya ke masing-masing hewan maupun kebakaran hutan luas yang diakibatkan api. Kalau kebakaran sih iya, tapi saya belum pernah tahu kalau hewan emang takut banget pada api.

Mengingat pengalaman saya di masa kecil, bisa jadi benar begitu adanya. Tapi faktanya tentu saja di luar ruang lingkup ilmu saya. Di masa lalu, dua puluh tahun yang lalu ada beberapa saat lamanya orangtua kami tinggal terpisah di dua tempat. Papa dan uda di lembah pertanian kami sementara mama dan saya tinggal di rumah dinas di tempat mama mengajar. Setiap Sabtu sore kami akan menjumpai papa di lembah hijau, untuk kemudian kembali ke rumah pada Minggu malam.

Iya, benar sekali, kami berjalan pada Minggu malam setelah sholat magrib. Rumah dinas mama berada di arah gunung. Praktis sepanjang perjalanan adalah jalanan menanjak yang kami lewati berjalan kaki. Jangan bayangkan jalanan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang. Ini adalah perjalanan menyusuri jalan desa yang amat sepi, hanya sesekali saja bertemu rumah penduduk dan amat jarang bertemu kendaraan. Perjalanan itu sendiri jauhnya sekitar 8 km. 

Saat itu kami akan berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap pelan. Selama perjalanan itu, meskipun kadang langit terang benderang penuh bintang, kami selalu berbekal api. Justru api, bukan senter yang kami bawa di perjalanan malam. Ini yang suak saya perdebatkan di masa kecil, kenapa harus repot dengan bekal obor sekian banayk sementara kita bisa membawa satu senter yang ringkas dibawa-bawa.
Obor persiapan kami terdiri dari dua ikat daun kelapa kering, dan dua sabut kelapa kering bersama satu tongkat. Pertama-tama, mama akan menyulut daun kelapa kering, kemudian mengayun-ayunkan di sepanjang perjalanan. Bayangan kami berdua segera muncul dan menari-nari riang di tanah berdebu.
Begitu memasuki desa pertama. Mama akan memadamkan obor kami. Setelah lima menit melintasi desa, kami akan bertemu areal sawah yang luas. Obor daun kelapa kering kembali beraksi. Di perbatasan desa kedua mama kembali memadamkan obor. Kali ini kami bisa agak lama melewati jalanan yang agak terang karena cahaya lampu rumah-rumah penduduk yang kami lewati. Sejurus kemudian, setelah dua tiga kisah mama habis diceritakan, kami kembali bertemu jalanan sepi. Udara yang makin dingin menandakan kami makin dekat ke gunung. Mama menancapkan sabut kering pada seruas tongkat, kemudian menyulutkan api. Sabut kelapa pun berkelip perlahan kemudian membara. Sabut kelapa memang tidak seterang daun kelapa kering, tapi sabut kelapa memberikan kehangatan ketika malam semakin dingin dan memberikan semangat ketika tanjakan terasa tidak habis-habisnya. Agaknya papa percaya dengan berbekal api dan doa papa, kami akan jauh dari bahaya hewan buas di perjalanan. Mesti disebutkan di sini perjalanan kita emang gak menembus hutan sih, tapi saat itu babi hutan masih sering berkeliaran, dan di beberapa saat yang amat langka, raja hutan kadang melintas di jalurnya.

Membicarakan ini, saya jadi kepikiran sendiri, ada beberapa hal yang kadang kita belum paham saat menjalaninya. Namun kelak, bertahun tahun kemudian bahkan mungkin bisa berpuluh tahun, saat kita sudah nyaris lupa, kita akan mengerti.

Postingan ini disertakan pada project#ODOPfor99days #day64

Comments

Popular posts from this blog

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

life is never flat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga