Latihan Kesadaran Finansial - Menghargai Setiap Usaha



"Bunda, kita ke toko buku yuk Nda, buku di rumah sudah dibaca semua." Pinta Atya.
"Loh, kita kan baru kemaren beli buku baru." saya kaget. Masak mesti beli buku tiap hari.
Huhuhu..
Bisa bangkrut bunda kalau begini mah.
Mana mereka kalau beli buku ngga tanggung-tanggung banyaknya.

"Ya nggak papa, kan bunda punya kartu debet."

Huwooo...
Bahaya ini.

Adalah sebuah tantangan ketika anak-anak mendapati bahwa ayah bunda punya kartu-kartu ajaib yang bisa digunakan untuk membeli hal yang mereka inginkan. Ini kejadiannya sekitar tiga tahun yang lalu. Saat mereka baru saja paham bahwa uang bisa membuat mereka punya barang impian. Dan saat  itu juga saya bertekad bahwa anak-anak perlu paham sekali perihal kebijakan financial ini.
Mulai dari titik nol: paham cara mengusahakan sumber uang.

"Ketika masih tinggal di Pulau Kijang, Ayah dahulu nemiliki tetangga seorang penjual martabak." Saya memulai kisah sore itu kepada anak-anak.

Kedua putri menyimak takzim.

"Nama kakek penjual martabak itu adalah Apa Tabak, Ayah dulunya kerap membantu beliau berjualan martabak."

Anak-anak mulai berbinar.

Ayah senang sekali membantu Apa Tabak membuat martabak dan menjualnya. Kalau sudah sore, kakek tua yang baik itu akan memberi ayah sedikit uang sebagai ucapan terima kasih untuk bantuan ayah. Tapi ayah tidak menggunakan uang itu, melainkan memberikan ke nenek untuk disimpan. Bertahun-tahun membantu Apa Tabak, ayah pun memiliki banyak uang. Nenek pun menyimpannya dengan cermat. Akhirnya nenek membelikan kalung emas dengan uang itu. Di kampung kita lazim sekali menyimpan uang dalam bentuk emas. Tahukah bahwa kalung itu diberikan nenek kepada ayah ketika ayah bunda sudah bertemu, itu berarti umur ayah sudah tiga puluhan. Uang itu diberikan nenek ketika kita kehilangan motor dan perlu uang untuk memberli motor baru. Jadi jerih payah ayah di masa kecil itu yang memudahkan kita saat susah."

Anak-anak kian beringsut mendekat.

"Ketika ayah mulai remaja, ayah membantu nenek berjualan telur. Jangan kira ini perkara gampang."

 Saya mulai berapi-api menceritakannya.
😉

"Pertama-tama ayah menemani sopir membawa telur dari kampung ke Tembilahan, nyaris 500 km jauhnya. dan ini bukanlah perjalanan sederhana. Pernah mobilnya mogok, pernah juga mobil pembawa telur itu terguling sehingga ratusan telur pecah begitu saja.  Ada-ada saja yang menjadi perintang di jalan
Andainya perjalanan itu lancar, ayah akan sampai ke Tembilahan dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan perahu ke pulau Kijang. Kemudian begitu sampai, ayah harus mengangkut telur-telur ke rumah.
Sudah selesai?
Belum.
Ayah masih perlu mengirimkan telur-telur itu ke pelanggan di sepenjuru pasar Pulau Kijang."

Saya diam sejenak, takutnya cerita saya sudah mulai membosankan.
Anak-anak masih mendengarkan ternyata.

"Ketika ayah sudah selesai kuliah, ayah mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan, pernah jadi sopir, pernah membantu dekorasi pelaminan hingga menjadi mc pernikahan sampai sekarang. Lalu sekarang ini meskipun ayah sudah capek kerja di kantor sepanjang pekan, tapi ayah masih ngemsi di Sabtu Minggu, hanya supaya kita bisa lebih leluasa."

Kedua putri mengangguk setuju.

"Kita mestinya lihat selembar uang seratus ribu dengan mengingat ayah loh.. Untuk seratus ribu, ayah perlu bekerja sekian menit. Kadang saat bertugas mc, ayah nggak bisa  duduk dan minum. Jadi kita harus selalu ingat bagaimana ayah mendapatkan uang dan bagaimana kita sebaiknya membelanjakannya."

Atya bersuara untuk pertama kalinya.
"Iya ya Nda, kita aja ngga bisa nyari uang. Kemaren kita jualan es waktu Ramadan, malah gak kejual."

Ups..
Atya kembali ingatkan ke masa-masa ngga asik. Dimana es yang kita rencanakan mau dijual, malah lebih banyak kita yang makan karena sayang kalau kebuang.
Hiks.
Ngga mudah emang nyari uang.

Sore itu berlalu muram, namun saya percaya anak-anak akan bisa melihat sepenggal jerih payah dari sekeping uang. Semoga..

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga