Dari Manggis Muda ke Nasi Biryani

Di pelataran Jam Gadang Kota Bukittinggi, banyak sekali emak-emak yang berjualan. Meskipun rata-rata seragam saja jenis jualannya, kalau tidak pisang rebus, kacang rebus atau beberapa buah manggis muda yang ditusuk dengan sepotong lidi. Biasanya penjual akan menaruh jualannya di atas baskom, ditata rapi, sistematis, sehingga memudahkan orang-orang yang ingin memilih. Ketika ada pengunjung melangkahkan kaki ke area taman, sigap sekali emak-emak ini menawarkan dagangannya.

Tapi ini pemandangan lama, sekian tahun yang lalu.  Kini setelah revitalisasi, pelataran Jam Gadang bersih dari penjual. Kini sudah menjadi kawasan yang rapi dan bersih.
Meskipun saya senang karena kini telah menjadi plaza yang enak untuk duduk-duduk, saya merasa ada yang kurang. Saya merindukan manggis muda yang berderet tiga buah di tiap-tiap lidi itu.

Manggis muda ini makanan yang tidak sering dijumpai. Dulu waktu kanak-kanak, saya kerap mengambil manggis kami yang tumbuh di samping kolam. Tapi tidak berani banyak-banyak, karena nenek akan menjualnya ke pembeli yang sudah mengincar jauh-jauh hari. Manggis muda harus dipotong di bawah aliran air bersih, agar getahnya yang berwarna hijau stabilo itu segera hanyut, tidak sampai menodai warna putih daging buahnya. Setelah dicuci bersih, hasilnya adalah buah yang renyah, manis dan segar. Sebuah rasa istimewa yang sebanding dengan kerepotan saat mengupasnya.
Ketika beranjak remaja, saya menemukan buah ini banyak dijual juga. Ini lebih mudah. Tidak perlu susah-susah, tinggal dinikmati saja.

Kenangan pada rasa spesial buah manggis ini yang menghampiri saya saat awal kehamilan putri pertama.

Duhai diri, kenapa mesti buah yang pelik itu yang diidamkan di saat begini.

Saya memarahi diri sendiri, bahwa suami yang cakap sekalipun dalam memahami selum beluk pasar buah sentero Jakarta, akan kewalahan dengan jenis permintaan ini. Sudah semestinya saya sebagai anak rantau yang sibuk, menerima situasi hamil tanpa banyak keinginan. Selama nutrisi yang masuk ke badan sudah cukup, ya sudah segitu saja.
Setelah berhari-hari menguatkan diri, saya mulai terbiasa dengan makan buah-buahan potong yang banyak dijual di depan kantor.

Manggis muda kembali tersimpan di kenangan.

Hingga bertahun-tahun kemudian, ketika saya tiba-tiba merasakan keinginan kuat ketika memikirkan makanan. Seperti halnya perkara manggis muda tadi. Padahal saya tidak sedang hamil. Putri kedua sudah hampir delapan tahun kini, saya saya sudah lupa dengan yang namanya ngidam.

Tapi jenis makanan satu ini tidak hendak hilang dari benak.
Saya merindukannya.
Sehingga saya beranikan mengganggu suami yang sedang bekerja via chat.
"Uda, bisakah sekarang belikan nasi biryani?"
Bagian logis dari kepala mengirimkan sinyal bahwa saya bertindak konyol. Tapi bagian lain mendesak saya untuk terus.
"Pulangnya uda bawa nasi biryani ya Da." Saya mendesaknya.
Lalu saya cemas menunggu jawaban.
"Iya, uda pasti langsung belikan kalau eci lagi hamil sekarang."

Saya terdiam.
Sakit hati.
Bayangan nasi biryani yang lezat penuh rempah terlipat dengan paksa.

Meski beberapa hari kemudian uda membelikan nasi yang diidamkan itu, saya sudah terlanjur patah hati.

Kelak beberapa bulan kemudian, saya saya sungguhan hamil. Tapi entah kenapa tidak sekalipun jua saya merindukan manggis muda ataupun nasi biryani.
Yang saya inginkan justru jajanan SD, parutan singkong rebus yang ditaburi dengan kelapa muda dan sejumput gula. Tapi kemudian saya menyadari, bahwa saya tidak tengah memikirkan makanan, saya hanya sedang memanggil sepotong kenangan.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga