Change Agility for Kids


Ini adalah pekan ketiga anak-anak belajar di rumah, menyusul adanya anjuran Physical Distancing dari pemerintah. Sejauh ini anak-anak bisa dibilang bahagia dan baik-baik saja di rumah.

Setiap pagi gurunya akan memberikan agenda belajar yang harus diselesaikan hari itu. Sementara Atya dan Ifa mengerjakan agenda pagi (Mandi pagi, sarapan dan beberes), saya akan menyelesaikan urusan baby Ara. Sehingga pada pukul delapan nanti kami semua sudah siap untuk belajar.

Adakalanya kami serius sekali. Anak-anak menekuni materi sementara saya mengayunkan baby Ara di bouncer sembari mengurus komunitas Ibu Profesional. Sesekali salah satu dari kami berhenti untuk mengunyah cemilan atau menyesap susu kotak. Kadangkala saya memutarkan lagu kokoronotomo atau lagu lawas lainnya sebagai teman belajar. Kami berusaha untuk menikmatinya, dan menerima bahwa belajar bisa dengan berbagai macam cara.

Sikap asyik terhadap segala perubahan ini tidaklah terbit seketika, melainkan melalui pembiasaan bertahun-tahun lamanya. Sehingga menumbuhkan yang namanya change agility, sebuah konsep diri yang siap dan tanggap dengan berbagai perubahan.

Berawal dari bulan Ramadan empat tahun yang lalu, ketika kami mengalami kecelakaan tunggal di perjalanan mudik lebaran.

Pagi itu beberapa menit usai tabrakan, anak-anak saya minta berdiam diri di sebuah kamar yang sama dengan nenek yang terbaring lelap dengan infus di tangan. Saya bisikkan bahwa nenek baik-baik saja, hanya butuh istirahat. Saya tekankan bahwa mereka sama sekali tidak bisa keluar kamar mengingat seharusnya tidak ada anak kecil di selasar rumah sakit. Namun apa daya tidak ada pilihan lain bagi mereka. Kemana pula saya akan menitipkan anak di kota yang asing ini. Terakhir saya memohon mereka agar sabar, bahwa bunda belum bisa memberikan makanan karena harus mendampingi dua operasi penting terlebih dulu. Kedua om mereka telah menunggu di ruang operasi. Anak-anak tidak sempat mengeluhkan apapun, karena saya bergerak amat cepat antara ATM-apotek-ruang operasi-ruang pemulihan. Ketika jam menunjukkan pukul dua siang, barulah saya datang membawakan nasi putih dan dua potong ikan mujair yang digoreng kering. Atya dan  Ifa makan dengan lahap, mereka tentunya haus dan lapar sekali. 

Beberapa menit kemudian, anak-anak bertanya apakah kita akan tetap pulang ke kampung? Dan apakah gaun cantik mereka akan tetap bisa dipakai dengan situasi mobil kita yang berantakan? Bahkan barang-barang kita pun tidak diketahui nasibnya.

Saya memeluk mereka. Pelukan itu sesungguhnya tidak hanya meredakan kegundahan mereka tapi juga melerai kelelahan saya.

Itu adalah hari pertama anak-anak mengenal change agility. Entah bagaimana rapinya persiapan kita, namun kita perlu menyiapkan mental yang siap untuk sebuah perubahan mendadak. Kemudian tidak hanya sekadar siap saja, juga perlu adanya sikap tegar menjadikan perubahan sebagai jenjang untuk scale up.

Maka belajar di rumah kali ini, bisa jadi membuat wajah ceria mereka menjadi  muram, akibat tidak adanya sahabat yang  riang tertawa bersama di tangga sekolahan.  Namun perubahan ini bisa jadi berubah  kepada aktivitas yang menarik  sekali.

Segalanya bersandar pada kekuatan cara pandang dan kesigapan mengubah strategi.

Kita hanya tinggal mengganti cara pandang.



Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga