Malapehan Gambuang Paruik

Suatu sore yang nyaman di rumah mami, waktu itu adik sepupu saya baru datang dari kampung waktu itu. Sehingga sesorean itu kami isi dengan membahas berbagai topik. Obrolan kita lalu sampai pada bahasan kenapa kita yang bersaudara ini kok ya suka berselisih dan saling menyakiti dnegan kata-kata yang tidak baik.
Mami lalu menyimpulkan : "Yah kalau demikian, kita harusnya bisa menahan diri dulu supaya nggak marah-marah. Rasulullah melarang kita marah agar bahasa kita terkontrol."
Saya manggut-manggut setuju.
Namun ekspresi adik sepupu justru sebaliknya.
"Kok baitu ntu ndak dapek awak malapehan gambuang paruik wak Mi."
Mami geleng-geleng kepala.
"Apa emang perlu mengumbar emosi ke orang saat kita marah?"
 "Yo tapi parolu tuh mi."
Kali ini saya ikut nimpalin, "Apa emang perlu marahin orang kalau nggak sepaham?"
Saya dan mami tergelak, namun segera serius lagi. Karena ini sesungguhnya memang perkara serius. Mami lantas berusaha menjelaskan, memberikan pemahaman tentang betapa seringnya perselisihan kecil menjadi pertengkaran besar gara-gara urusan Malapehan gambuang paruik ini.

Malapehan Gambuang Paruik adalah sebuah istilah yang populer di kampung saya. Ungkapan yang berarti seseorang yang melepaskan unek-unek seketika, biasanya dalam konteks kemarahan, tanpa memikirkan kata-kata yang keluar. Tentunya juga tidak memikirkan efek kata terssebut bagi pendengar. Yang penting adalah apa yang dirasa segera dikeluarkan, akibat berikutnya dari omongan itu ya jadi urusan nanti nanti.
Seperti saya ceritakan pada adek waktu itu, ini adalah jenis komunikasi yang berbahaya.

Sekarang setelah belajar lagi materi komunikasi produktif, yang ada malah makin cemas dengan ini. Apalagi mengingat kebiasaan malapehan gambuang paruik ini lazim di lingkungan saya.
Padahal pola komunikasi begini jelas bukanlah komunikasi produktif.

Kosakata kita adalah output dari struktur berpikir dan cara kita berpikir


Pada saat kita selalu berpikir positif maka kata-kata yang keluar dari mulut kita juga berupa kata-kata positif, demikian juga sebaliknya.
Kata-kata anda itu membawa energi, maka pilihlah kata-kata anda
Kebayang jika kita menuangkan segala emosi ke lawan bicara, menumpahkan semua kata-kata maka bisa ditebak hasilnya berupa pertengkaran. Sejujurnya ini membuat saya sedih, karena seperti inilah pola komunikasi keluarga besar saya, maka saya dibesarkan dengan komunikasi yang jauh dari produktif.

Kesininya saya belajar bahwa perasaan kita ternyata berubah dari waktu ke waktu, saat kita berada di suasana tenang. Kita lalu mampu berpikir positif kemudian mehasilkan kata-kata yang positif. Untuk itu perlu right time agar bisa mamu menata pikiran dan pada gilirannya mengontrol kata yang dikeluarkan.
Tidaklah perlu lama sebenarnya, saya pernah menuliskan sebuah pesan pendekmemosional pada suami, lalu ingat untuk menaham diri. 10 menit kemudina, ketika dibaca lagi, pesan tadi kok rasanya tidak masuk akal. Akhirnya pesan marah-marah tadi urung dikirimkan, ganti dengan menyampaikan perasaan dan fokus ke tujuan yang diinginkan.
Kemudian perlu juga memperhatikan right place. Maksud baik yang disampaikan di suasana yang salah juga berpotensi kesalahpahaman.

Komunikasi juga tidak serta merta sukses begitu kita berpikir positif, mencari momen yang pas buat bicara tanpa memahami bahwa sudut pandang tiap orang berbeda. Bisa jadi lawan bicara punya Frame of reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) yang berbeda. FoR adalah cara pandang, keyakinan, konsep dan tata nilai yang dianut seseorang. yang hadir karena didikan orang tuan, buku yang dibaca, pergaulan, indoktrinasi dll. Seadngkan FoE adalah serangkaian kejadian yang dialami seseorang, yang dapat membangun emosi dan sikap mental seseorang. Bahaya kalau dalam sebuah komunikasi seseorang memaksakan FoE/FoR nya, ketika seseorang ingin memaksa seseorang pakai cara pandangnya sekaligus menyingkirakan cara pandang orang lain.

Komunikasi yang baik adalah ketika FoE/FoR FoE/FoR-ku dan FoE/FoR-mu menjadi FoE/FoR KITA. Dengan begini informasi yang disampaikan dipahami seperti yang kita inginkan.
Supaya Clear, menjadi penting pula asas C&C, Clear and Clarify. Menggunakan susunan kata yang jelas sehingga mudah dipahami dan memberikan kesempatan agar terjadi proses klarifikasi untuk ha-hal yang belum dipahami.


Malapehan Gambuang Paruik adalah contoh yang buruk dari memaksakan
FoE/FoR. Meskipun ini istilah dari kampung saya, sesungguhnya ini bisa saja terjadi dimana-mana, ketika kita kehilangan nalar dan mengutamakan emosi. Pada saat kita tidak lagi berkomunikasi sebagai dua orang dewasa namun seperti anak-anak.

Lalu bagaimana agar bisa selalu mengontrol diri?
Selain menjadikan kaidah-kaidah di atas sebagai panduan juga perlu untuk selalu mengutamakan nalar dengan mencari data dan fakta, kemudian berfokus pada tujuan. Apabila sedang emosi sekali sebaiknya diam. Pada saat diam itulah pikiran mencerna keadaan. Jeda ini memberi kita kesempatan melihat fakta situasi denngan lebih baik.
Bukankah rasululah memberikan pesan yang sungguh tepat makna :"Berkata baik atau diam."


Sumber : materi Komunikasi Produktif di kelas Bunda Sayang

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga