Pertemanan dengan Toko Bumbu


Mama mengajari saya berbagai bumbu masakan sejak saya masih keciiiiiil sekali. Beliau mengajari berapa takaran yang pas untuk garam, berapa panjang ruas jahe yang diperlukan untuk membumbui suatu makanan. Atau kapan daun salam diikutsertakan dalam wajan.
Kemudian karena saya tinggal di punggung gunung, dengan vegetasi luar biasa beragam di sekeliling rumah, saya juga belajar dari mama, dedaunan apa saja yang bisa dicampur ke makanan untuk menyeimbangkan rasa.

Begitulah.. Perjalanan belajar masak sudah sedemikian panjangnya tapi yaaaa..karena pada dasarnya dulu itu saya jarang masak, jadinya ya masih kacau aja kalau masak, tetep ada momen-momen gagal yang bikin pengen menghilangkan makanan gagal itu seketika.
Sekarang setelah berumahtangga, saya otomatis berada di posisi koki kepala. Ada sih bude (pengasuh Atya) yang bisa memasak, tapi bude ngga bisa masak ala Padang. Masakan bude enak aja sih tapi sulit dinikmati sehari-hari untuk lidah Padang seperti saya dan suami. Maka untuk keseimbangan kuliner di rumah kami, saya perlu meluangkan beberapa menit di pagi hari untuk memasak sebelum berangkat ke kantor. Kemudian di sore harinya, 15 menit begitu sampai rumah kembali, saya nyaris dipastikan sibuk berkarya di depan kompor. Dengan demikian praktis saya mau ngga mau mengingat resep lama, beli-beli buku masakan dan sibuk aja nelponin mama sebelum memasak.

Akan tetapi kesininya urusan bumbu mengalami pergeseran prosedur. Ini bermula sejak saya menemukan toko bumbu halus di pasar yang aroma bumbunya menyebar hingga 3 toko di empat penjuru disekitarnya. Toko ini disambangin pertama kali gaga garanya saya mau membuat bakso untuk ulang tahun Atya. Karena saya yang mengurus segalanya untuk ultah pertama ini, maka saya pikir bumbu halus akan mempermudah.
Eh ternyata toko bumbu ini antriannya banyak banget. Perlu ekstra sabar untuk menunggu mas dan mba penjaga ini menyelesaikan permintaan ibu-ibu yang datang sebelum saya. Heibatnya mereka itu hapal aja loh siapa yang datang duluan.

Berkat antrian yang panjang tersebut, saya punya banyak waktu untuk mengamati toko bumbu ini. Pesanan bumbunya beragam, dari ayam goreng, rendang, gulai ikan, sebut saja makanan nusantara yang melibatkan bumbu. Tinggal sebutkan masakan yang mau dibikin plus jumlahnya, maka akan diambilkan bumbunya dengan racikan yang presisi. Itu kisah pertama saya dengan toko bumbu, berikutnya saya memerlukan bumbu ayam goreng dengan jumlah banyak untuk tasyakuran mengundang teman-teman kantor. Eh berikutnya saya udah rutin aja mengunjungi toko ini setiap saya belanja mingguan ke pasar. Tentu saja ini meringankan kerjaan saya, mempercepat urusan memasak kilat saya sambil tetap menghidangkan masakan enak untuk keluarga.

Tapi hari sabtu kemaren, selepas pembicaraan saya dengan pembeli lain perihal sop buntut di toko bumbu tersebut, saya tiba-tiba kepikiran satu hal, yaitu warisan.
Saya percaya budaya kuliner adalah budaya turun temurun. Bukankah makanan-makanan terbaik di suatu daerah adalah makanan yang diturunkan dari tetua tetua, yang menjaga keutuhan resep selama ber-dekade dekade lamanya. Maka bagaimana saya nggak tertegun bersama belanjaan saya pagi itu, jika saya, dengan kebiasaan saya ini akhirnya hanya mewariskan nama toko bumbu pada anak-anak kelak..

Maka dengarlah duhai toko bumbu..
Kebersamaan kita hanyalah sampai tinggi badan Atya dan Zifa berhasil mencapai meja dapur. Karena ada misi mulia yang perlu dijalankan..
Uhuk..
Tapi kalau misalnya saya perlu masak dengan jumlah banyak, tentulah saya kembali.
Hihihi..

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga