Jangan Main ke Rumah Tetangga
Saat saya kecil, papa melarang saya main ke rumah
tetangga, dengan pemahaman bahwa keriangan saya mungkin saja mengganggu
tetangga yang lagi istirahat.
Jadilah saya anak rumahan, yang sehari-hari baca buku dan
main didalam rumah aja. Untungnya kedua ortu mengizinkan saya mengajak teman
untuk main ke rumah sehingga saya ngga kehilangan masa kecil yang seru bersama
teman.
Saat beranjak remaja, udah jadi kebiasaan aja kalo saya
tidak ke tetangga jika tidak ada keperluan. Saya memperhatikan mama juga ngga
pernah kelihatan duduk-duduk ngobrol dengan tetangga.
Papa telah dengan tegas melarang ngobrol ngga penting,
karenaaaaa segera saja obrolan bisa berubah menjadi ghibah.. Lagi ngomongin
resep masakan eits tiba-tiba udah beralih aja jadi ngomongin orang.
Apakah mama jadi kuper karena ngga ngegosip dengan
ibu-ibu lain?
Sungguh ngga demikian..
Mama justru sangat aktif di PKK, aktif di dewan ulama
Nagari dan di pengajian ibu-ibu.
Bahkan sekarang mama di masa pensiunnya masih menjadi
pengurus PKK kabupaten, yang sibuk ikut seminar untuk kemudian membagikan
ilmunya ke masyarakat luas. Jadi ngga alasan nenangga dengan tujuan
bermasyarakat.
Kesininya saya hanya nongol di depan pintu rumah tetangga
untuk menyapa kilat untuk menyampaikan salam dan bertukar kabar, atau mampir
sejenak jika ada yang lahir, atau ada yang sakit. Sebisanya segera kabur jika
sudah menyerempet ke ngegosip.
Etapi kini saya udah tau aja segala macam pergosipan,
saya paham pasangan mana yg lagi bertikai, saya tau aja yang ini beli ini,
orang itu lagi jalan-jalan, dan segala macam berita lainnya, tanpa ketemu
tetangga. Saya lihat dan baca dari media sosial segala hal yang
saya ngga perlu tahu. Sebutlah kisah pertemuan dua orang yang awalnya saling
memuji, trus akhirnya sepakat sejalan, lalu berselisih kecil, lalu mulai
melebarkan pertengkaran hingga memutuskan berpisah. Saya tahu bahkan hingga ke
cela-celaan after perpisahan.
Nah, demikianlah duhai Papa, bahwa saya tak perlu keluar
pekarangan rumah lagi untuk mengetahui isi rumah orang lain.
Saya pernah dinasehati seorang kakek bijak tetangga kami
di kampung sepi tempat saya dibesarkan.
Beliau ini adalah guru mengaji saya.
Beliau berpesan: "Jangan masuk rumah orang jika
orang tersebut tidak mengajak." Bisa diartikan harfiah jangan nyelonong
masuk rumah orang begitu saja dan bisa juga diartikan untuk tidak mengusik
urusan pribadi orang lain. Ini adalah
nasehat lama tapi tetap relevan hingga kini. Betapa saya ngga semestinya
'kepo' pada urusan orang lain. Tapi Datuk..kan orang lain itu sendiri yang
membuka lebar-lebar rumahnya di media sosial.
Begitulah, dengan sedih saya kabarkan bahwa dua nasehat
mulia itu sudah goyah di genggaman saya.
Saya terlanjur membaca hal yang tidak perlu. Tapi gemana
ini.. Ada media yang mungkin saya bisa memutuskan interest seperti apa yang mau
saya follow, begitu saya ngga suka, bisa ditinggal. Tapi kan ada yang meminta
pertemanan, trus ternyata tanpa saya minta, saya telah diberitahu berbagai hal.
Bisa sih saya 'hide' kisahnya dari layar saya, tapi kebanyakan keburu saya
ketahui..
Duh..
Tak kurang saya ikutan memberitakan perasaan saya ke
khalayak umum, tanpa peduli apakah akan menyakiti minimal membebani orang lain.
Maka jika papa masih ada disisi saya, dan mencermati
prilaku saya, tak diragukan beliau akan segera meminta saya menjauhi media.
Dan jika datuk masih ada, beliau akan mengingatkan
sepotong kalimat yang sejak belia saya pegang.
Pada papa dan datuk saja, saya sudah ketakutan..
Duhai..
Bagaimanalah ini..
Comments
Post a Comment