Mengenalimu duhai Anakku


Lama perjalanan dari kota Padang dengan kota Payakumbuh jika ditempuh dengan bis kota dalah 3 jam, ditambah seperempat jam naik ojek. Biasanya saya akan pulang ke rumah pada hari Jumat di saat jam terakhir kuliah. Maka perkiraan waktu sampai di rumah berkisar anatara pukul 9 - 12 malam.
Begitu sampai di rumah, saya akan menyapa orang tua terlebih dahulu, kemudian segera beberes rumah.
Iya, beberes rumah meski semua sudah akan segera tidur 😀 Sebulan ditinggal, semua barang tentunya sudah berubah letak. Jendela dan pajangan di dinding tidak dilap seperti yang saya inginkan dan buku tidak ditaruh sesuai abjad.

Selalu saja seperti ini. Entah selarut apapn, saya akan tetap memegang sapu dan lap sebelum beristirahat. Rasanya tidak akan bisa tertidur pulas jika tidak merapikan rumah sebelum tidur. 

Setelah menikah dan memiliki anak, saya mendapatkan ujian berat. Bahwa memiliki dua anak yang rajin main masak-masakan membuat saya tidak bisa menata barang seperti yang saya inginkan. Lantai rumah tidak selalu sebersih yang saya harapkan. Dan buku tidak disusun seperti standar penyusunan sata.. hiks..

Untungnya kadar kecintaan pada anak-anak jauh melebihi obsesi pada kebersihan dan kerapian rumah. Setidaknya saya masih bisa membiarkan anak-anak menyebarkan mainan ke sepenjuru rumah di sepanjang siang. Meski kemudian sore harinya saya akan bergegas merapikannya. 
Berkali-kali anak-anak akan kembali menata kertas di lantai dan menyisakan jejak krayon di lantai, namun saya bisa bertahan mendampingi anak-anak dengan bahagia. Urusan lantai kotor tidak ada artinya jika melihat hasil karya anak-anak.

Well, tentu saja saya tidak akan pernah tidur dengan lantai kotor itu. Sesaat setelah anak-anak tidur pulas, saya segera mencuci semua piring dan gelas kotor, mengelap meja makan, merapikan semua barang kembali ke lokasi awal dan terakhir membuat lantai kembali mengkilap. 

Maka saya amat memahami Ifa ketika mama mengingatkan Ifa untuk mandi pagi karena setelah ditungguin Ifa belum jua bergerak ke kamar mandi.
"Ifa, air mandinya akan keburu dingin kalau Ifa masih belum mandi." Mama melongok ke kamar. 
Tidak terdengar jawaban Ifa.
Mama kembali mengingatkan. "Apapun yang Ifa cari, nanti saja sehabis mandi."
Terdengar rengekan Ifa.
Mama meninggalkan Ifa dengan sisa separuh kesabaran. Yah, Ifa bisa banget keras kepala jika menyangkut terhambatnya perencanaannya.

Saya menyelesaikan kepangan di rambut kaka Atya dan mnghampiri Ifa.
"Adek sedang mempersiapkan apa?"
"Adek mau bawa minyak telon Nda, adek mau bawa ke sekolah biar kalau adek pusing adek tidak minta ke bu guru." Ifa sudah setengah menangis. 
Saya tersenyum dan memeluknya. Dalam situasi ini, Ifa tidak akan mandi tanpa menyiapkan peralatan sekolahnya hingga tuntas. 
Memaksanya mandi akan membuatnya sedih karena terpaksa patuh. 

Saya memahami Ifa, karena saya kerap mengalami hal yang sama. Namun tugas saya sesungguhnya adalah seberapa banyak saya bisa memahami dan mau mendengarkan sudut pandang anak, terutama jika di luar pemahaman dan pengalaman saya.

Seberapa banyak saya bisa menyiapkan ruang kesabaran untuk mengenali Atya dan Ifa.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga