Warna Warni Kisah Ifa



Assalamualaikum,

Saya suka ungu, juga suka pink, hijau dan biru, saya juga suka putih, jingga dan orange. 
Lah.. ini kok jadinya semua warna jadi favorit ya :p
Intinya saya menyukai segala yang penuh warna warni. Alasan historisnya bisa jadi karena di masa kecil suka main dengan air yang dikasih pewarna makanan. Ini sesungguhnya adalah kisah yang dituturkan oleh papa. Bahwa waktu saya usia 3 atau 4 tahun, papa suka menuangkan beberapa tetes pewarna makanan ke dalam baskom kecil, kemudian saya akan menghabiskan sepagian main air berwarna tersebut.

Selain itu, ketika usia kanak-kanak juga, kami pernah beberapa saat lamanya tinggal di sebuah lembah pertanian. Jika pagi tiba, langit sepenuhnya berwarna biru tua menentramkan, tapi tunggu saja sebentar hingga matahari sempurna muncul, cakrawala seakan hanya berkenan memilih warna biru muda saja. Jika sempat, tolehkan wajah ke sisi kanan, di sana ada perbukitan yang menawarkan parade warna menakjubkan. Lihatlah merah menyala di pucuk-pucuk cengkeh, dedaunan dengan warna hijau muda berseling hijau tua, kuning tua kecoklatan, dan hei.. bahkan ada sebatang pohon kokoh yang berwarna biru. Iya, warnanya sungguh biru (ini pohon favorit saya di masa kecil).
Puas menangkap warna warni pepohonan, perhatian bisa kita alihkan ke kecipak ikan dalam kolam. Induk ikan yang habis memijah dan ratusan ikan remaja akan sibuk berenang menghampiri pinggir pematang begitu langkah kaki terdengar di pematang sawah yang sudah diperlebar. Warna-warni ikan yang nenek moyangnya berasal dari Majalaya ini umumnya merah dan kuning keemasan. Tapi kombinasinya yang berbeda di tiap ikan akan menyita perhatian kita.

Matahari belum sepenggalah, tapi nuansa warna yang menemani keseharian sudah sedemikian kaya. Maukah mendengarkan kisah warna padi di sawah, karena warna padi di sawah-lah yang menguasai warna lembah ini. Padi yang usianya beberapa minggu akan menyejukkan mata dengan hijaunya yang tentram, lalu padi yang siap dipanen menumpahkan warna keemasan yang tak tertandingi.
Sesekali burung-burung penuh warna mampir di tangkai padi yang merunduk tersebut. Warna burung yang kontras dengan padi kadang membuat perasaan jadi sulit, antara asyik menikmati pemandangan dan kewajiban mengusir burung dari padi.

Pagi tadi, saya kangen dengan kue putu ayu.
Gak ada hubungannya dengan kisah diatas ya :)
Tapi ini masih celotehan tentang warna warni. Pengennya kue putu ayu kali ini berwarna ungu. Dalam benak saya pastilah akan bagus sekali kombinasi ungu dari adonan kue dengan putih dari kelapa parut. Maka pagi tadi saya pun dengan yakin menuangkan sedikit pewarna ungu ke adonan kue putu ayu.

Kotak pewarna makanan inilah yang menarik perhatian Ifa. Awalnya hanya lihat, lalu mulai dengan mengambil pewarna merah cabe. Dengan cemas kemudian melirik saya yang sibuk memadatkan kelapa parut di dasar cetakan. Saya sebenarnya memperhatikan dari sudut mata tapi memilih menunggu.
Ifa memutar tutup botol mungil itu perlahan.
Sekali lagi melirik.
Melihat bundanya yang masih tekun dengan adonan kue, Ifa menuangkan setetes pewarna ke jari. Persis saat saya melirik, Ifa menyembunyikan tangannya di balik punggung.
Wajahnya tegang.

Saya menatapnya beberapa detik.
Kemudian:
"Bunda boleh melihat tangan Ifa"
Ifa menggeleng sekuat tenaga. Wajah bulat dengan pipi kemerahan itu terlihat defensif.

Apalagi yang bisa saya lakukan selain tersenyum. Saya lalu mengambilkan beberapa kotak plastik mainan Ifa. Menuangkan dua tetes masing-masing warna di tiap kotak, kemudian memenuhi kotak itu dengan air. Saat saya membawa kotak tersebut ke kamar mandi, Ifa menangkap maksud saya dan bersorak senang. Segera peralatan memasaknya diboyong semua ke kamar mandi. Sejurus kemudian Ifa sudah sibuk main masak-masakan. Saya masih saja berkutat dengan kue putu ayu. Kesalahan memperhitungkan jumlah kulit jeruk limo membuat adonan kue terasa datar. Perlu menyiasatinya agar kue mungil ini lebih lezat rasanya. Dengan demikian Ifa terpaksa main sendiri. Hanya saja saat saya meninjaunya sebentar, wajah Ifa ternyata dipenuhi senyum bahagia. Detik itu juga saya mengerti, senyum yang sama pernah hadir di wajah saya, berpuluh tahun yang lalu.




*tulisan adalah bagian dari tugas menulis pada RUMBEL MENULIS IIP JAKARTA sebagai peer hari keempat
#tantanganmenulissepekan

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga