Rumah Bersama

Beberapa helai baju di hanger tergantung rapat. Juga ada kotak-kotak barang segala macam bertumpukan. Juga ada payung, jas hujan, sapu dan peralatan kebersihan lainnya. Segala benda itu berada di area selebar dua meter, gang kecil yang menjadi pemisah dua rumah kontrakan. Barang-barang itu pula yang menghalangi tampias hujan deras yang meniti atap genteng tanpa ampun. Tanpa keberadaan berbagai barang itu, tiga adik bujangan yang tidur di bale-bale, tentulah akan kecipratan air hujan. Mereka juga tidak punya pilihan tempat tidur lain. Rumah kontrakan kami ini hanya punya satu kamar. Kamar tersebut sudah ditempati saya, suami dan dua anak. Sementara itu di ruang tamu, sudah ada 4 orang pemuda lain terlelap dalam posisi tubuh lurus sempurna, agar muat tisur si ruang sempit itu. Ruang lain berupa dapur dan ruang tengah, yang telah ditempati oleh pengasuhnya anak-anak.




Saya tergugu.


Galau rasa hati melihat anak-anak yang menumpang bersama kami ini, tidak punya tempat bermalam yang layak. Sebagai perantau muda mereka memang punya bekal ketangguhan dan ketabahan. Anak muda yang merantau mestilah tahan dihoyak badai gelombang. Juga harus bisa menahan segala keterbatasan yang dialami. Tapi ya ngga gitu juga. Saya berharap, cukuplah mereka lelah mencari kerja di luar sana. Stress dengan panggilan kerja yang tak kunjung datang, atau lelah sepulang menuntaskan kerjaan yang nyaris di batas kesanggupan. Maunya saya, mereka pulang dan menemukan rumah yang nyaman. 

Rumah yang bisa jadi pelipur lara, akibat jauh dari orang tua dan derita hidup merantau. 


Tapi yang terjadi engga begitu. Anak-anak remaja yang siap bertarung di belantara dunia kerja ibukota ini, terpaksa tidur sekenanya. Bahkan seringkali tidur di bale-bale luar rumah. 


Saya galau sejadinya. 


Lalu sepenggal doa naik ke langit. Doa agar kami diberikan kemudahan memiliki tempat bernaung yang tidak hanya cukup bagi keluarga kecil ini, namun juga bagi keluarga yang membutuhkan naungan kami. 


Doa itu lalu membumbung tinggi, terus terbang bagai asap tertiup angin kencang. 


Kami lalu memiliki rumah, meski dengan susah payah. 


Alhamdulillah. 


Hingga suatu.hari, galau kembali menerpa. Tatkala ada dua rombongan kenalan di kampung halaman, datang berobat ke Jakarta. Rombongan itu datang dnegan dua mobil, bermuatan penuh. Saya kalang kabut. 

Keluarga oni akan tidur dimana malam ini. Mwnilik mwreka tampaknya betah di rumah, dan berbiat bermalam bwrsama kami.  

Saya galau sejadinya. 

Ketika fakta rumah kami yang mungil memojokkan saya. Bahwa kami hanya bisa menampung separuh tamu saja waktu itu. 

Kilas balik lama menyambar rumah mungil kami. Sekali lagi, tamu kami melewatkan malamnya di teras rumah.

Utnuk kwdua kalinya,.saya tergugu.

Sebentuk doa saya kirimkan pada yang sang Maha. Sungguh ini bukan perkara gagah-gagahan. Hanya karena rasa ngga tega yang mendera. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga