Gelas yang Diukir dengan Satu Kata


Berat. 
Sungguh berat jika dalam setahun tidak berkunjung ke kota Semarang. Rasa kangen pada keluarga di Semarang rasanya mulai menumpuk. Belum lagi jenis kangen lainnya, seperti kerinduan pada ramainya Simpang Lima, pada onde-onde dan tahu bakso. Juga pada semangkok soto ayam Pak Man. 
Semarang sudah menjadi kampung kedua, yang dikunjungi lebih sering daripada kampung halaman sendiri. 

Di saat pandemi begini, kami yang suka jalan-jalan jadi terpaksa menyimpan koper. Tidak ada agenda berangkat kemana-mana. 
Melainkan tetap di rumah, menjaga kesehatan sembari menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Tidak hanya urusan pergi-pergi yang terhenti, banyak perkara lain telah terusik oleh virus yang mewabah kali ini. Jangan ditanya pula bagian finansial, ia telah duluan terbungkuk-bungkuk takluk. Entah kalangan mana yang sanggup bertahan, karena pemain bisnis besar tidak luput dari badai. 

Dalam situasi kali ini, saya hanya bisa meraih gelas, dan melihatnya dengan persepsi bahwa gelas saya sudah separuh terisi. 
Ada banyak hal yang patut disyukuri bahkan di tengah keterbatasan. Andai beban berat makin bersangatan, bagian syukur tetap ada di sana. Bahwa kita layak memangku ujian ini, menandakan kelak kita akan naik kelas dan menjadi pribadi yang lebih baik. 

Jika ditarik jauh ke belakang, konsep gelas yang terisi separuh, sudah ada di buku lama. Buku yang saya baca di masa remaja, menyampaikan bahwa hidup mestilah punya sifat qonaah.

 Sifat yang selalu merasa cukup.

Di saat masih muda, dan bersandar pada orang tua, sepotong kata qonaah tidak meresap ke dalam hati. Toh apa saja bisa saya adukan kepada ibu bapak. Tidak ada yang situasi yang membuat hati terasa berat.

Namun kini konsep qonaah menemukan waktunya, dengannya hati terasa tentram. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga