Setelah Badai Usai

Dua hari kemaren hujan angin menerpa kota. Angin berkesiur membawa serta air hujan yang banyak tak terkira. Air hujan yang lantas berhamburan di atas genteng, kusut karena angin yang sibuk berbalik arah dalam waktu singkat. Rooftop rumah kami yang belum sempat dipasang jendela, biasanya hanya membawa kesejukan hembusan angin. Tapi kali ini, air bersimbah turun menuruni tangga. Mengalir sudah air hujan di seluruh lantai 2, lalu menganak sungai menuju lantai 1. Saya yang tengah pilek dan tak kunjung henti bersin, menatap genangan tanpa berdaya. 
Saya balik badan, masuk kamar karena tahu tidak bakalan sanggup mengurusi air hujan yang menyerbu rumah. Niatnya sih mau selimutan.. hahah. Tapi ternyata ruang wardrobe juga tersiram hujan.. 
huwoooo... 
Saya mengadukan perihal hujan yang tetiba bertamu itu pada suami, lalu lanjut menarik selimut. Sebab serius beneran tidak punya tenaga, bahkan untuk sekadar merasa cemas.

Dulu hujan semacam ini akan menimbulkan kecemasan yang bertubi-tubi. Jika saya memandang ke lereng bukit, terbayang betapa banyak lagikah dedaunan yang akan terseret hujan. Lalu apakah kali kecil di belakang rumah akan meluap? 
Apakah air hujan yang menerpa sisi dinding rumah akan menembus tempat penyimpanan padi? 
Lalu jika saya menoleh ke arah pukul 10, terlihat kawanan kambing yang gelisah. Saya pun cemas jika lantai kandang akan basah. Apakah keluarga kambing itu akan bertahan dalam dingin malam ini? 
Belum lagi jika memikirkan ribuan bayi ikan mas yang baru menetas. Air kali yang coklat tidak boleh sama sekali memasuki kolam kecil mereka. Mereka terlalu sensitif dengan hamburan air penuh humus dari bukit. 
Akan tetapi, cemas saya segera beralih. Cemas akan pematang sawah yang runtuh jika hujan tidak juga reda. Lalu ratusan ikan mas akan hanyut dan pergi mengikuti deras aliran air entah sampai di mana. 
Belum lagi berderet-deret tomat, yang pasti membutuhkan bantuan keesokan paginya.
Hujan badai bergulung bersama kecemasan.

Tapi saat kecemasan memuncak, yang tersisa adalah doa dan kepasrahan kepada sang Maha. 

Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat. 

Jika esok pagi datang. Udara bersih dan langit cerah. Selembar awan pun tidak tersisa di langit. Itulah saat saya mengambil tali rafia untuk mengikat dahan tomat yang merunduk. Sebelum ke ladang tomat, tidak lupa mengecek kambing, bebek dan bayi ikan.

Setelah badai berlalu, kita akan tegak kembali dan menata hidup dengan semangat yang baru.

Hanya kadang tidak semua bisa kembali seperti semula. Nun di sana sekelompok ibu tengah menuai dengan ani-ani, sebab tangkai padi telah sempurna merunduk akibat badai semalam.

Mungkin demikian juga dalam aspek hidup lainnya. Bahwa ada yang tak bisa kembali seperti semula, namun kita akan bisa mencari solusinya. 
Tapi dalam kasus saya kemaren. Setelah badai usai, saya tetap masih selimutan.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga