Prau, Pendakian Pertama (Part #2)
Tubuh yang sudah workout berbulan-bulan akan menemukan pengujiannya di track ini. Apakah akan tremor dan menyerah saat di tanjakan yang tidak ramah ini.
Setelah beberapa saat mendaki, saya pikir bakalan baik-baik saja. Nafas sudah mulai terasa nyaman, dan capek bisa hilang dengan istirahat beberapa menit.
Melintasi hutan seperti ini serasa kembali ke masa kecil. Saat sering eksplorasi alam bersama almarhum Apa. Dulu saya sering menyusuri sungai dan mengamati tanaman anggrek liar di pedalaman rimba. Juga menyenangkan saat duduk diam tenang-tenang menatapi pohon besar dan segenap burung penghuninya. Saya berasa pulang ke rumah. Rasanya tentram saat melihat pohon berselimutkan lumut, dan hamparan belukar tidak tersentuh.
Hanya saja sesekali saya berbalik mengamati kakak. Saya mencemaskan kakak yang diam saja selama di perjalanan. Takutnya kakak tidak kuat setelah dua jam mendaki terus menerus meski perlahan. Selain itu, sejak dari pos 1 ke pos 3, kami belum bertemu jalanan landai sama sekali. Selalu menanjak dengan track berupa jalan tanah dengan jalinan akar.
Ternyata kemudian hari saya baru tahu kalau kakak memang memaksakan diri saat itu.
Aslinya capek dan mau menyerah aja rasanya, tapi terus bergerak karena teman lainnya begitu bersemangat dan sabar mengimbangi kecepatan.
Kami lalu berhenti di pos 3 untuk makan siang. Tadinya di awal pendakian, tim OT sudah membekali kami dengan nasi makan siang. Di sini baru masuk akal kenapa dibagikan di awal. Ternyata peserta OT yang puluhan orang ini, tersebar di berbagai ketinggian karena kecepatan yang berbeda-beda. Meski berpencar, saya selalu bisa menandai punggung dengan carrier orange milik tim OT yang entah di belakang kami, atau jarak 200 meter di depan.
Dari pos 3 kemi melanjutkan pendakian dengan semangat baru. Yaaa karena abis makan tentunya. Di pos 3 ini kami bertemu kran air minum. Jadi sekalian saja mengisi botol minum yang sudah kosong.
Dari situ, lelah mulai sering terasa. Kaki rasanya bertambah berat 3 kilo, dan pendakian berasa ngga selesai-selesai. Belum lagi kabut mulai makin tebal dan akhirnya hujan turun. Kami bergegas memasang raincoat dan terus melanjutkan perjalanan.
Saya menyemangati kakak.
"Ayo Kak, kita harus segera sampai. Karena hujan akan bikin jalannya makin licin."
Padahal saya juga pengen rebahan saking capeknya. Tapi akhirnya dengan terseok, saya akhirnya sampai di camp area. Bersama anak perempuan yang sudah diam sama sekali, dan empat orang teman yang masih sama semangatnya seperti di pos 1.
Yaaaa...begini nih kalau berteman sama yang bukan pendaki pemula.
Energinya menular, tapi saya dan kakak kehabisan baterai.. huhuhu..
Meski semangat masih ada dalam hati, tapi sehabis ganti baju, saya memilih mengeluarkan hand warmer dan sleeping bag. Kami lantas segera saja sudah bergelung dalam kenyamanan sleeping bag.
Sementara itu hujan makin deras, derai hujan dan angin kencang menerpa tenda tanpa ampun. Saya sesekali mencemaskan tenda yang akan terbang entah kemana. Terutama saat senja makin mendekat.
Rombongan kami merupakan tim kecil yang kedua sampai di camp area. Satu per satu peserta lainnya berdatangan dan memasuki tenda-tenda di sebelah. Saya menyimak langkah kaki yang berdatangan dan juga hujan yang masih belum ingin berhenti.
Setelah beberapa lama meringkuk di bawah angin badai, salah satu tim OT memanggil di depan tenda, menawarkan teh panas. Saya menyambutnya dengan gembira. Memegang gelas panas di suhu sedingin itu, rasanya nyaman sekali.
Setelah teh panas, tim OT kembali memanggil dari balik tenda. Kali ini tawaran menarik berupa pisang goreng keju.
Wohoooo.. apakah kita beneran di ketinggian gunung atau di cafe yang nyaman. Tapi beneran ada tiga piring pisang dengan taburan keju di atasnya. Sampai sini, saya sudah bertekad kalau besok-besok mau mendaki lagi, saya akan pakai jasa OT saja. Saya butuh banget tawaran teh hangat dan cemilan kayak gini.. hahaha
Setelah menghabiskan pisang keju, saya kembali mendengarkan suara badai. Hujan telah reda. Tapi angin masih berkuasa. Sementara berbaring, saya menyentuh pipi kakak berkali-kali, untuk memastikan ia tetap hangat. Lalu tiba-tiba saja sudah malam. Sepertinya begitu, karena saya sama sekali tidak berani membuka risleting tenda.
Tim OT datang kembali menawarkan makan malam berupa nasi hangat dengan kerupuk, beserta semangkok soto ayam yang panas. Fix, besok-besok saya akan contact tim OT saat pendakian berikutnya.
Usai makan malam, Athiya teman seperjalanan kami yang riang gembira full positive vibes, bergabung dengan teman di tenda sebelah. Keseruan mereka main uno terdengat jelas. Tapi saya tidak punya pilihan lain selain tetap berada dalam sleeping bag, dengan tangan memegang hand warmer erat-erat.
Saya cemas.
Jika pada pukul sepuluh malam saja, kami sudah merana karena udara dingin. Apa yang akan terjadi saat malam berganti dini hari. Saat alam menawarkan suhu dingin tertinggi.
Setelah banyak membaca semua postingan para pendaki tentang hipotermia, saya sejujurnya takut. Bagaimana kalau saya dan kakak yang warga Jakarta ini, tidak sanggup menahan dingin ekstrim. Atau jika kami tidak bertahan di tengah terpaan angin. Meskipun sudah membawa berbagai persiapan menghadapi suhu dingin Gunung Prau, tetap saja saya sangat khawatir.
Juga terhadap kakak.
Meskipun secara fisik lebih tinggi dan tegap dibanding saya, tapi kakak tetaplah anak kelas 2 SMP yang tidak terlatih survival di alam bebas. Suhu dingin yang penah ditanggungnya hanyalah kamarnya yang disetel ac paling dingin.
Ketika kakak mengeluhkan kakinya terasa dingin banget, saya mulai tidak tenang.
Tergesa saya menyiapkan foot warmer, juga membungkus kakinya dengan emergency blanket. Lalu menutup sleeping bag rapat-rapat. Kakak lalu tertidur dengan tangan menggenggam dua buah hand warmer. Dengan terbungkus jaketnya, kakak hanya kelihatan mata dan hidungnya sekarang. Lalu saya menutup sleeping bag rapat, agar kakak sempurna terlindung dari udara yang makin dingin saja terasa.
Lalu waktu melambat.
Perlahan.
Saya mengecek kakak sering-sering, sembari memeriksa jam di smartphone. Perlahan saya menyentuh pipinya, apakah hangat seperti biasa, ataukah kedinginan. Sekalian memperhatikan helaan nafasnya. Karena saya khawatir jika ada yang salah di pendakian pertama ini. Waktu bergulir lambat sekali, sedang angin kencang masih setia menerpa tenda. Saya sibuk bertanya-tanya apakah kami akan bertahan malam itu.
Lalu subuh pun datang.
Kakak terbangun dan bilang kalau semalam ia tertidur nyenyak.
Saya nyengir.
Antara bersyukur dan gemas dengan pikiran saya yang overthinking.
Subuh itu kami bersiap melihat sunrise. Tim OT menyiapkan bubur dulu sebelum kami beranjak pergi. Nyaman sekali saat perut berjumpa bubur hangat di pagi yang sedingin itu.
Ini adalah camp area yang ditiup angin membekukan di sepanjang malam.Camp area dari kejauhan.
Dari camp area, kami cukup berjalan 15 menit untuk sampai ke puncak. Dan masya Allah, seusai badai semalam, langit cerah tanpa kabut. Langit biru dengan sedikit awan tersebar. Dan deretan gunung Sumbing, Sindoro, Lawu, Slamet dan Merapi berjejer gagah.
Kali ini saya sungguh terkesiap.
Udara menghangat seiring matahari muncul, langit jingga segera berganti terang. Rasanya hanya sesaat mengagumi sunrise. Entah karena begitu banyak hal yang terjadi sekaligus. Alam terbentang sedemikian indah, atau sapaan bunga daisy, atau hati yang tiba-tiba menghangat.
Kami duduk berdampingan, menikmati pagi. Tidak sepenuhnya tenang karena ada banyak yang mondar mandir untuk ngambil foto.
Namun cukup sepi karena tidak sampai menghalangi pemandangan.
Usai foto, kami kembali ke camp area. Lanjut beberes barang dan bersiap untuk turun. Kami makan dulu, karena tim sudah menyiapkan nasi kari ayam dan sop buah. Ngga expect banget bisa dapat sop buah yang enak pas lagi di gunung begini. Ngga kebayang deh entah berapa banyak logistik yang diangkut ke atas sini. Pas turun ini, carrier jadi lebih berat, karena ada pakaian yang basah di sore sebelumnya.
Kadang kabut datang, dan seketika dikelilingi tembok putih.
Selain itu ada tantangan jalan yang licin pasca hujan. Tapi yaaa sebagai mantan anak peladang yang biasa turun gunung membawa kayu atau sekarung kopi, saya pikir saya akan baik-baik saja.
Untungnya demikian, saya bisa turun tanpa jatuh atau tremor. Kakak juga bisa sampai bawah dengan nyaman. Dalam waktu satu jam, kami sudah sampai kembali ke pos 1. Dan berjumpa lagi dengan ojek yang berasa kita lagi uji nyali. Aslinya sih seru, andai tidak mikirin bakalan jatuh ke jurang. Soalnya kami melintasi ladang sayuran! Belum lagi pemandangan sekeliling yang memukau, andai saja tidak sibuk megangin motor…hiks
Asli takuuut mau jatuh.
Kabar baiknya, naik ojek ini sebentar saja. Kami kembali ke basecamp dengan selamat. Alhamdulillah. Lanjut mandi dan istirahat di basecamp, sambil menunggu semua tim lengkap terkumpul. Jam 2 siang, kami kembali ke Jakarta, dengan elf yang sama. Sekali lagi kami melintasi jalanan ekstrim. Andai sopir elf nya ini tidak handal, ngga tau deh ke kebun sayur mana kami akan nyusruk..hiks
Kami sampai di basecamp Halim pukul 12 malam.
Lega.
Karena kemaren berani bermimpi dan memutuskan untuk coba hal baru. Lega karena sudah pulang dengan selamat. Dengan kepala penuh kegembiraan, kenangan dan keharuan. Bagi saya naik gunung seperti coming home. Saya mengingat Apa dan segala hal tentang hutan rimba Juga impian naik gunung yang tidak kesampaian di masa remaja. Malah terwujud saat menemani kakak.
Review Opentrip Tiga Dewa Adventure
Saya terbiasa dulu bersama Apa menyusuri semak belukar, menyimak suara hewan dan mempelajari dedaunan.
Semua itu dalam suasana hening dan takzim.
Tapi itu dulu.
Saat ini, saya prefer naik gunung bersama opentrip, karena lebih aman dan mudah, dan terutama karena saya ngga punya banyak teman. Heuheu…
Tim Tiga Dewa sangat friendly, dan menjaga semua peserta agar aman dan nyaman tentunya. Saya notice hal-hal luar biasa dan tindakan sederhana yang mereka lakukan selama perjalanan. Semisal pagi-pagi ada yang keliling tenda bertanya kalau ada yang butuh di sol sepatunya. Juga saya selalu melihat ada carrier orange-nya bang Dani tidak jauh dari kami. Entah dia di depan atau di belakang kami, tapi selalu ada di sekitaran. Meskipun kami sebenarnya baik-baik saja dan bisa naik tanpa kendala. Jadi ke depannya, saya masih akan naik gunung bersama opentrip.
Tuntas sudah 2575 mdpl, kami istirahat dulu untuk catatan mdpl selanjutnya.
Comments
Post a Comment