Mentari Dalam Rumah

Seiring matahari sempurna muncul setelah lelah bersembunyi di punggung gunung, kebosanan pun terasa mulai mendera. Padahal ada dua baris pohon murbei yang membentuk terowongan rimbun. Semestinya keberadaanya cukup untuk menenangkan gelisah. Sebab daunnya yang hijau muda lembut akan meneduhkan pandangan mata. Lalu dedauan itu juga akan menciptakan harmoni cahaya di tanah lembab di bawahnya. Ketika sinar mentari pagi menyiramnya, dedaunan murbei sibuk membuat pola sendiri. Gerak cahaya di tanah coklat, adalah tarian cahaya yang melenakan.

Apabila pohon murbei tidak cukup, masih ada lagi belasan rumpun dahlia aneka varietas. Mulai dari dahlia versi lama yang merupakan warisan dari nenek moyang kami, atau pokok dahlia impor yang bunganya tebal bagai beludru. 

Ataukah jambu air yang jenisnya langka itu kurang memikat, apakah aromanya yang bak parfum itu tidak membuat betah berjam-jam. 

Semestinya sih begitu, puluhan jenis tanaman menarik di sepanjang halamani depan, adalah segala yang saya cintai. Mereka saya rawat sepenuh hati, terutama setelah saya selesai kuliah. Sebab waktu saya sepenuhnya milik para tanaman itu. Ini alasan aja sih, aslinya karena menganggur, hahah..

Hanya saja, ketika waktu dhuha hampir usai, tuntas pula kenyamanan saya bersama para vegetasi berharga koleksi halaman kami ini. 

Saya merindukan mama. 

Saya menantikan mama muncul nun di ujung pematang sana.

Mama akan muncul dengan tas kerja berisikan barang-barang khas milik seorang guru. Lalu berjalan perlahan dengan kucing kecil kami memandu mama di depannya. 

Seiring mama mendekat, kebahagiaan saya beterbangan kembali mendekat. 

Bahkan saya, seorang yang sudah sebesar itu, masih sedemikian lekat dengan sosok mama. 

Apalah pula para kanak-kanak. 

Ibunda bagi mereka adalah sumber kegembiraan, sumber ketenangan jiwa tempat berlabuh kala gundah menyapa. Ibunda juga inspirasi, tempat bertanya segala ragu, dan juga tempat meleraikan kusutnya pemikiran. Ibunda adalah obat bagi kepahitan hidup. Bahkan senyumnya menghilangkan separuh luka begitu saja. 

Ibunda bagaikan mentari di dalam rumah.

Hanya saja waktu lalu bergulir, dan saya ikut meleburkan diri bersama pusaran waktu. Sebuah perjalanan terlaksana, yang kemudian membawa saya ke naik turunnya gelombang hidup. 

Hingga akhirnya saya berada di posisi menjadi ibunda. 

Saya bahagia, tentu saja. Tapi tidak pernah berani menyebut diri sebagai matahari kecil dalam rumah. 

Sebab ibu bukan saja pendaran cahaya, namun juga adalah sumber energi dalam rumah. Gembiranya ibu akan menguar ke seisi rumah. Tawa kecilnya mengundang tawa riang renyah dari anak-anak. Senyum lembutnya memancing tarikan bibir di wajah mungil. Pun tangisannya akan meredupkan cahaya seketika. 

Sepatah kata, seulas bentuk bibir, seraut rona wajah, adalah segala yang mewarnai dunia anak-anak. 

Duhai betapa istimewanya. 

Dan... 

Duhai betapa berharganya peran ini. 

Dan.. 

Duhai betapa pentingnya amanah ini.

Maka bagi saya, menjadi ibu, adalah perjalanan belajar dengan gigih agar bisa menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Dengan percepatan yang melampaui kecepatan tumbuhnya seorang anak. Sebab menjadi ibu adalah menjadi cahaya yang memandu perjalanan ananda tersayang. Apabila ibu tertatih, bagaimana bisa putra putri akan tegar menatap masa depannya. Menjadi ibu adalah merengkuh segala keberanian, kesungguhan dan cinta, lalu merajutnya dengan seksama, agar menjadi sebentuk sumber kegembiraan di dalam rumah. Kelak dari rumah yang berpendaran kebahagiaan ini,  bertumbuh anak-anak yang gembira.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga