Posts

Showing posts from April, 2022

Mudik Bersama Anak

 *Tulisan ini dibuat bareng Atya. Ketika saya tengah menulis dan merasa lelah, Atya lanjut menulis. Jadi sebagian tulisan adalah buah pikiran Atya, tanpa diedit. Kanak-kanak udah jelas punya definisi sendiri tentang level keseruan. Jika saya menemukan kegembiraan pada susunan baju yang terlipat rapi setelah disetrika, anak-anak jelas tidak punya pendapat yang sama. Pun juga mereka tidak akan bahagia jika saya suruh untuk membereskan kekacauan lemari. Anak-anak akan berbinar matanya jika saya ajak ke toko aksesoris remaja atau toko buku. Sementara kebahagiaan saya berbanding terbalik seiring banyaknya item belanjaan mereka.. eheu..  Demikian pula tentang mudik. Saya punya segudang cinta yang menguatkan badan, agar bisa menempuh perjalanan yang berat. Juga punya energi yang cukup untuk mengatasi segala tantangan yang terjadi dadakan.  Anak-anak terlalu suka dengan suasana lapang dan nyaman penuh buku, sehingga akan sulit membuat mereka berada di mobil selama 2 hari.  Anak- anak akan mera

Mudik, Cinta dan Children Oriented

 Mudik itu berat. Dilihat dari sisi mana aja, tetap saja banyak daftar kesusahannya dibanding keseruannya. Pulang kampung bagi keluarga kami hanya memiliki dua opsi saja. Apabila dengan pesawat, maka ada konsekuensi tidak punya kendaraan buat mondar mandir di kampung. Ini jauh lebih pelik ketimbang mikirin ongkos pesawat yang tentu saja amat muahal di masa-masa mudik. Sebab di saat lebaran itu, juga terkandung kesempatan silaturrahim. Di kampung kami yang berada di kaki gunung, kendaraan pribadi menjadi crucial adanya. Tanpa kendaraan sendiri, palingan hanya bisa mengunjungi tetangga dan sanak saudara yang berada di satu kecamatan. Padahal daftar yang wajib dikunjungi sebenarnya panjang pake buanget.  Itu sebabnya kami sekeluarga jadi cenderung pada opsi kedua, yaitu mudik via jalur darat. Ini bermakna, kami mengemasi barang ke mobil, dan bersiap melaksanakan perjalanan dua hari. Kami akan melintasi Jalur Lintas Sumatera, setelah sebelumnya menyeberangi selat Sunda dengan menggunakan f

Mudik dan Hal-hal yang kita pelajari

 Kakak Atya dan Uni Ifa sudah kenyang dengan perkara mudik. Sebab sejak bayi mereka telah ikut kami mudik melintasi Jalan Lintas Sumatera. Berbagai pengalaman telah mereka lewati. Mereka tahu bagaimana jalanan berbelok naik turun bagai roller coaster. Juga merasakan terangguk-angguk begitu kami melewati jalanan yang tidak rata. Pun mereka pernah ketiban barang-barang yang disusun di belakang. Saking kencangnya sebuah goncangan.  Anak-anak juga menikmati dinamika di perjalanan. Adakalanya kita punya banyak makanan, kadang kita sibuk nyari-nyari tempat makan. Kadang mendadak singgah di sebuah pondok kayu yang menjual durian. Pernah juga di suatu tengah malam, saat kami berada di situasi lapar yang nanggung. Sementara makanan di mobil sudah menipis stoknya. Suasana malam yang dingin membuat kami merindukan mie goreng atau gorengan apa saja. Saat itulah kami melihat banyak tenda dari kejauhan. Cahayanya terang dan suasananya ramai. Ekspektasi sudah menebal bahwa di depan sana akan ada jual

Niat dan Output

 Ketika tangan kecil saya audah cukup kuat, Apa mengajari saya mengulek cabe di batu gilingan yang besar. Apa mengajarkan teknisnya, dan memberikan panduan memasak sambalado dengan baik. Saya kemudian tidak hanya berurusan dengan cobek. Akan tetapi juga kayu, tungku api dan aneka wajan yang hitam oleh jelaga. Lantas saya belajar berbelanja bahan masakan ke warung. Saya belajar otodidak tentang memadukan berbagai bahan makanan. Kadang saya memerhatikan ibu lain yang berbelanja, kadang saya menyesuaikan dengan bahan yang tersedia.  Lalu saya memasak.  Sebisanya.  Mengingat saya masih kelas tiga sekolah dasar.  Apabila saya pulang dari sekolah, saya akan memeriksa terlebih dahulu apakah ada nasi di dalam periuk. Di tahun-tahun itu rica cooker belum ditemukan. Sehingga setiap orang memasak basi dengan panci. Setelah air dalam panci ditakar dengan kekuatan ruas jari, panci akan diletakkan di atas tungku yang apinya menyala berkobar. Biarkan hingga air mendidih. Di tahap ini, saya harus gerc

Jus Alpukat, Mengalah dan Menghargai

Dalam khasanah minuman favorit saya, jus alpukat menempati posisi penting. Bagi saya rasa alpukat yang rich, tidak terlalu manis,.merupakan sebuah harmoni raasa yang paling juara. Kemanapun alpukat ini disertakan, ia akan menjadi sesuatu yang menonjol. Apalagi jika alpukat yang dihancurkan lalu dimasukan irisan halus gula aren. Whoaaa.. perfect.  Juga kalau dijadikan jus dan ditambahkan krim kental manis. Mantap sekali rasanya.  Bukan kebetulan pula, dalam konteks keluarga kecil saya, ada hubungan yang erat antara jus alpukat dan saling menghargai. Sehubungan dengan pernikahan dengan suami tidak diawali dengan masa perkenalan yang cukup, saya mengenali banyak hal tentang suami justru setelah menikah. Segera saya mengetahui bahwa beliau ternyata membenci jus alpukat. Berbanding terbalik dengan saya yang mencintai jus yang satu ini, Tapi kan ga mungkin menaruh jus alpukat sebagai satu poin perbedaan kami, meskipun memang ini adalah perbedaan. Jadinya saya mengalah, dengan hanya menikmati

Tidak Semua Perlu Jadi Masalah

 Bandara Soetta dinihari, terasa lengang dan membosankan. Saya duduk di bangku logam yang membuat ketidaknyamanan makin terasa. Belum lagi hembusan angin dingin yang tidak lagi menyejukkan. Level dinginnya naik menjadi menyakitkan kulit. Iya sedingin itu.  Entah karena memang suhunya yang dingin, atau saya yang lagi sinis pada segalanya.  Saya duduk sendirian disana, menunggui detak jam tangan dengan mata kuyu. Perlahan terang mulai datang, seiring penumpang lainnya bermunculan. Satu persatu menempati pojokan terbaik ruang tunggu itu. Lalu seperti halnya saya, duduk terkantuk-kantuk menunggu jadwal keberangkatan.  Saat fajar merah menyelimuti separuh ruangan, seorang bapak separuh baya duduk di samping saya. Ia tersenyum dan saya mengangguk sopan. Lalu ia duduk dan berbasa basi. Pertanyaan khas yang biasa dilontarkan di ruang tunggu bandara. Hendak kemana, darimana, kerja dimana, dan semacamnya. Standar layaknya bertanya pada teman seperjalanan. Saya yang masih terbungkus kantuk menang

Sepetak Tentram

 Nama lokasinya adalah Baliak Parik, jorong Sialang, kenagarian Tungka, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, provinsi Sumatera Barat. Ia adalah sebentuk lahan berbentuk wajan. Separuhnya dikelilingi bukit yang sarat dengan kopi robusta dan kayu manis. Sementara sisi lain dipenuhi deretan sawah. Infinite. Karena di ujung sawah sebelah sana, seakan terputus, bersambungkan awan. Sebab mendadak di ujung garis swah ada turunan terjal yang dipenuhi semak belukar. Terus menurun hingga bertemu dengan jalan kecil berbatu. Pada sebentuk tanah pertanian itu, ada isolasi alami. Tidak ada yang leluasa bolak balik ke sana, karena serangkaian bukit dan persawahan itu adalah milik satu keluarga. Bahkan meski ada jalanan yang cukup untuk dilewati truk pick up, tetap saja sepenggal tanah itu tidak terusik.  Suara-suara yang terdengar hanyalah suara yang dimiliki oleh tempat itu sendiri. Suara gemercik air, yang keluar dari mata air di halaman. Juga aliran air yang perlahan menuruni

Mudik Hampir Tiba

 Insya Allah, lima hari lagi mau mudik ke Payakumbuh. Ini udah kayak hal yang rutin sebenarnya. Bepergian jarak jauh bukanlah hal baru untuk anak-anak. Atya sudah travelling dengan pesawat di umur sebulan. Waktu itu kami balik Jakarta setelah sebulan menetap di kampung asca lahiran. Ifa bepergian jauh pertama kali di usia 5 bulan. Saat mengunjungi keluarga di Semarang yang kemudian malah lanjut jalan ke Jogja. Termasuk juga bawa nenek ke Borobudur. Lalu baby Ara, di usia sebulan sudah nyampe di Jatimpark 1 saat masih umur sebulan.  Segala perkara pergi-pergi jarak jauh ini sebenarnya terlaksana jika faktor utama terpenuhi. Faktor itu adalah jika kami sekeluarga sehat dalam kondisi prima. Saya terutama yang paling sibuk menyiapkan segala keperluan anak, dan yang akan sigap trengginas menyiasati segala hal yang terjadi di jalanan. Saya pernah mencuci di tepian sungai, saat kami melewati sebuah desa di daerah Palembang. Sementara ayah dan Atya berenang dengan riang. Itu terjadi setelah be

Kartu Lebaran

Tiga buah kartu itu membuat saya terpesona, sampai tidak tahu berapa lama saya menggenggamnya. Sapuan warna abstak yang kuat, menjadi latar goresan kaligrafi yang tegas. Tulisan itu sendiri berbentuk masjid yang indah. Saya jatuh cinta sekaligus kepada paduan warna, garis yang indah dan keseluruhan bentuk yang menakjubkan. Itu adalah kartu-kartu lebaran yang dibuat oleh guru kaligrafi saya, Bapak Muhammad Fathir Yasin. Terbersit  rasa tidak rela mengirimkan kartu itu. Hiks . Rasanya pengen disimpan saja sebagai kenangan. Soalnya kartunya terlalu indah, malah bisa masuk ke kategori benda koleksi. Meski beneran ngga rela, tetap saja pada akhirnya saya mengikhlaskan kartu itu. Sebab percaya bahwa yang menerimanya juga akan menyukai kartu tersebut.  Setelah itu, bagi saya kartu-kartu lebaran lain terasa biasa saja. Ia tak lebih sebagai penghantar ucapan selamat hari raya dan ungkapan kerinduan singkat pada penerima. Juga berisi ucapan maaf dan saling merelakan. Betapapun indahnya gambar di

Resep Gulai Ayam versi Rumah Kami

 Jarang-jarang saya nulis resep di blog. Karena udah banyak banget resep di berbagai platform. Jadi mikirnya yaudahlah yaa... Daripada ngga ada yang re-cook, baik nulis topik yang lain hahaha...  Tapi gulai ayam yang mau saya tuliskan ini beda. Dalam sepekan ini, tiga kali saya masak gulai ayam dalam skala besar. Melibatkan wajan yang tidak lazim ukurannya. Selama tiga kali itu pula Ifa membantu prosesnya. Ifa bukan hanya bantu-bantu tapi juga paham perlakuan khusus pada setiap bahan. Saking udah ngertinya, saat mau bikin gulai untuk buka puasa keluarga besar, Ifa menawarkan diri untuk handle sendiri menu gulai ayam ini. Dia minta agar diserahkan from the scratch. Hohoho.... Kurang keren apa anak Bunda nomor dua ini.. Tapi... Ayam tiga ekor membutuhkan kekuatan tangan yang prima, setidaknya selama satu jam berdiri di depan kompor dengan tangan memegang sutil besar. Saya ngga tega. Lalu saya janjikan bahwa Ifa boleh masak sendiri jika hanya masak untuk satu ekor ayam saja.  Saya tuliska

Why we should understand ourself

Ajakan mengenali karakter diri pada anak, rada-rada syusah.. hiks..  Tidak semudah ngajak mereka menghayal besok mau jadi apa, atau bermimpi setinggi-tingginya. Pun lebih mudah mengajak mereka melongok ke masa silam alias menapak tilas sejarah. Perkara meninjau diri ini mungkin beyond their calculation. Yaaa.. mungkin karena mereka masih kanak-kanak sih yaa.. ini memang topik yang agak next level bagi mereka. Hanya saya ingin agar sedikit-sedikit mereka belajar mengenali emosi dengan lebih dalam. Engga hanya sekedar labelling jenis emosi dan bentuk ekspresinya. Tapi saya ingin ajak jalan lebih jauh. Saya mengambil cara yang paling akrab dengan mereka, yaitu ngobrol bareng.  Saya mengisahkan bahwa ibundanya ini dulu adalah seorang yang suka banget bebersih.. etapi sekarang masih tetep suka sih. Tapi dulu jauh lebih parah. Saya dulu tidak bisa tidur sebelum memastikan semua bersih. Saya akan menyeka debu-debu, membenahi letak barang-barang, dan tentu saja menyapu. Nah bagian ini saya (ya

Knowing Yourself, Protect Yourself and Others

 Di rumah kami, waktu itu ada dua stoples besar. Ia terbuat dari kaca yang tebal. Saya menyukai bentuknya yang silinder sempurna tanpa cela, dan tutupnya yang pas. Jika kita menaruh kue loyang (kembang goyang) maka kuenya tidak akan melempem meskipun dibiarkan dalam waktu lama. Saking kedapnya si tutup stoples itu. Selain itu saya juga suka karena ada dua stoples, rasanya aesthetic aja gitu melihat ada dua stoples di atas meja. Ketika itu kami tinggal di sebuah rumah dinas Kepala Sekolah, nun jauh di desa yang dingin dan senyap.  Ketika insiden stoples ini terjadi, saya agaknya sedang berusia 8 atau 9 tahun. Salah satu stoples itu pecah. Kacanya yang bening berhamburan di lantai, sementara kue loyang telah merata di seluruh penjuru rumah. Hanya tutup stoples yang saya kagumi itu yang utuh setelah berkelontang menyedihkan.  Ada anak tetangga yang main di rumah kami, dan tidak sengaja menyenggol si stoples. Saya terpaku awalnya.  Lalu menangis. Dan terus menangis hingga lama.  Lalu tetan

Memahami Emosi, Trigger dan Antisipasi

 Dalam berbagai kenangan, saya di masa kecil termasuk yang hobi nangis.. hahaha..  Udah gitu biasanya kalau nangis itu luammaaaa banget. Jenis tangisan yang sulit dihentikan. Saya ngga perlu irang lain buat mengingatkan, karena saya ingat sendiri kelakuan masa kanak-kanak yang memalukan ini. Pas diminta brenti nangis, saya akan bilang: ngga bisa berhenti nangisnya.  Hahaha..  Padahal kalau mau berhenti yaudah berhenti aja dong yah.  Tapi ya gitu, saya entah kenapa syuka banget nangis-nangis kalau emosi tidak terbendung.  Dan obatnya hanya satu. Apa biasanya akan mengambil seember air, dan mengguyur kepala saya biar kaget. Terus terpaksa mandi, kedinginan dan tenang sendiri. Sungguh bukan pengalaman yang patut dijadikan teladan bagi anak-anak.  Tapi ini sih di masa belia banget yah.. begitu udah gedean ya ngga nangis lagi tentunya.  Segala kenangan ini yang membuat saya membuat sebuah catatan pembelajaran khusus buat anak-anak. Bahwa anak-anak perlu memahami emosi yang dialaminya dan ju

Iman yang Berbungkus Takwa

Kemaren malam, saya mengikuti acara tahlilan mendiang Ibu Syofyani Yusaf, di Taman Ismail Marzuki. Almarhumah adalah maestro seni yang berdedikasi dan berjasa mengembangkan budaya Indonesia. Sehingga sederetan penghargaan pernah diterima beliau. Tari legendaris khas Minang lahir dari jiwa seni beliau, seperti Tari Piring, Tari Pasambahan dan Tari Payung.  Nah kali ini saya hendak menceritakan sepenggal catatan di masjid Amir Hamzah tempat acara berlangsung. Masjid yang berlokasi di kompleks Taman Ismail Marzuki ini memang sedari dulu berkolaborasi dengan Sanggar Tari Syofyani, dalam melestarikan tari tradisional.  Setelah acara tahlilan dan mengenang karya almarhum Ibu Syofyani, jam dinding di masjid masih menunjukkan pukul lima sore. Masih jauh dari jam berbuka puasa. Peserta acara yang merupakan kerabat dan keluarga besar sanggar telah berkumpul dan mengikuti acara dengan takzim. Di luar masjid, hidangan berbuka puasa telah dihidangkan dengan rapi.  Untuk mengisi waktu, ustadz dari m

Cinta dalam Sepiring Makanan

Kiranya Jewel in Palace adalah drama asal Korea yang pertama saya ikuti. Sekaligus juga yang paling saya sukai hingga saat ini. Saya entah sudah berapa kali menonton ulang drama yang satu ini. Meski happy ending, saya sering nangis nontonnya.. hiks..  Tapi kali ini mari membahas hal lain. Saya kok rasanya ngga sanggup membuat daftar tantangan hidup Jang Geum, sang tokoh utama. Ibarat kata, tempaan hidup yang ia jalani beneran bisa membuatnya menjadi berlian yang sempurna. Saking beratnya hidup yang dijalaninya.  Asli salut sama dia.  Yang ingin saya ceritakan adalah penggalan kisah saat aktris protagonis kita ini mau belajar masak. Ia lalu tinggal satu rumah sama mentornya. Dikisahkan bahwa mentor ini meminta  Jang Geum membawakan segelas air. Jang Geum langsung gercep dong ngambilin air. Karna ia dari dulu memang cekatan abis. Etapi begitu dihidangkan di depan gurunya, gurunya meminta ambilkan air yang lain. Auto mikir dong yah. Tapi ya gurunya masih belum puas. Demikian juga keesokan

Lilin dan Kesibukan pada Shaf Paling Belakang

Ada beberapa penggalan kisah hidup saya yang tidak patut dibanggakan. Hiks.. Salah satunya terkait lilin kecil warna warni yang biasanya marak dijual saat bulan Ramadan.  Di kampung kami, yang jauh di lereng gunung, masjid merupakan pusat aktivitas warga bila Ramadan tiba. Masjid kami yang biasanya senyap akan dipenuhi oleh segenap penduduk desa. Semuanya turun ke masjid, mulai dari kakek nenek sepuh hingga bayi dan balita. Terutama di malam hari. Karena sehabis berbuka dan sholat magrib, warga berduyun-duyun mendatangi masjid Mujahidin.  Masjid ini menempati posisi spesial di kenangan saya. Sebab masjid kala Ramadan tiba, akan penuh dengan cahaya. Tidak hanya lampu masjid yang dinyalakan semuanya, tapi juga ada cahaya lilin-lilin kecil di area belakang masjid.  Entah bagaimana ia bermula, namun lilin mungil yang lebih mungil dari jari balita itu, telah menjadi bagian dari semaraknya bulan Ramadan. Tiba-tiba saja banyak warung yang menjual lilin dan kembang api. Dan kami sebagai kanak-

Tamu

 Putriku tersayang,  Rumah kita adalah rumah yang senantiasa ramai. Dalam tiap pekan adaaa saja tamu yang singgah di rumah kita.  Sedari ananda semua belia, senantiasa Bunda ajarkan bahwa Rasulullah menganjurkan kita memuliakan tamu. Bahwa besar kebaikannya apabila kita menerima tamu dan kita menjamunya dengan baik. Maka putri-putri Bunda lalu terbiasa dengan segala kesibukan seputar menerima.  Mulai dari kita beberes rumah sehingga bisa nyaman bagi tamu yang akan datang. Lalu menyiapkan makanan dan minuman untuk tamu. Setelah tamu datang, ananda semua juga perlu ikut menyambut tamu dengan senyum riang. Ikut pula ngobrol bareng, dan menjawab segala pertanyaan dengan baik dan santun. Segala kesibukan akan bertambah apabila tamu yang datang berniat menginap di rumah. Ananda akan ikut terpengaruh ritme mainnya, juga ikut capek karena membantu Bunda. Bunda sangat berterima kasih dan bersyukur memiliki putri yang sangat sensible.  Kesibukan menerima tamu tidak hanya usai setelah tamu pamita

Kisah Ramadan di Rumah Kami

 Eh tetiba nyadar aja kalau saya lama tidak cerita kegiatan di rumah sehari-hari. Apa jangan-jangan saya berubah jadi rada serius mulu.. hahaha..  Makanya kali ini pengen nulis yang ringan-ringan saja. Mari saya ceritakan apa yang terjadi di bulan Ramadan tahun ini. 1. Mama ada di Jakarta Setelah Ramadan tahun lalu mama ada di kampung karena pandemi, tahun ini mama ada di Jakarta dan bisa puasa Ramadan bareng kami. Dengan adanya mama, nuansa yang paling beda adalah nyaris selalu ada kumandang alunan ayat suci di rumah. Soalnya mama banyak sholat dam ngaji. Saya mah jangan ditanya.. hiks.. saya banyakan beberes dan main sama baby Ara. Bahkan sama suami aja, saya kalah jauh perkara ngaji ini.. huhuhu..  Terus selain ada ibunda yang senantiasa ibadah, mama juga berpengaruh besar terhadap perkara hidangan Ramadan. Kalau ada mama, mahkota ratu dapur auto balik ke mama. Mama yang menentukan situasi hidangan dan yang banyak masak-masak. Saya geser jadi sous chef haha... Palingan saya belanja,

Kisah Menulis Soalan

 Dahulu kala di sepenggal kisah masa SMA, saya pernah menghabiskan waktu dua hari untuk menuliskan pertanyaan. Waktu itu ada tugas membuat bank soal dengan bentuk pilihan berganda. Itu adalah jenis tugas yang saya terima dengan separuh hati, dan wajah rada manyun. Sebab sehari-hari mata pelajaran yang satu ini sudah melulu menyaliiiin terus. Rasanya sudah capek menyalin isi buku paket ke buku catatan. Tapi yaaa.. meski rada kesel, sebagai anak rajin dan giat belajar, tetap juga saya kerjakan tugas itu dengan baik. Bahkan saya menyelesaikan tugas lima hari lebih awal dari tenggat yang diberikan.  Bagian paling sulit dari membuat pertanyaan adalah membuat poin-poin pilihan gandanya. Jawaban yang benar tentu saja udah pasti diketahui, tinggal ditentukan aja, apakah mau ditaruh di A, B, C atau D. Nah membuat pilihan yang salah,  agak rumit nih. Khan ngga mungkin juga ditulis asal aja atau ngawur. Setidaknya pilihan salah juga mestilah relevan dengan topik yang dituliskan. Yaaa kira-kira mi

Tanya dan Apakah Ada Jawabnya

Image
  Dalam ranah pencarian ilmu, kemampuan bertanya merupakan sebuah aspek penting. Ia adalah unsur yang membangun critical thinking skill. Sebab tanya ada pertanyaan yang menggeliat dalam benak, bagaimana bisa sebuah ilmu akan diterima dengan menyeluruh tanpa bias.  Dalam perkembangan anak-anak sebenarnya kemampuan bertanya ini merupakan hal yang natural. Anak-anak tumbuh dengan pertanyaan:  Apa itu?  Kenapa begitu?  Bisakah begini atau begitu?  Dan banyak pertanyaan lain yang dilontarkan anak-anak sepanjang waktu.    Ini sebenarnya jadi semacam hal yang mengganggu saya. Jika pada dasarnya anak senang bertanya, kenapa lalu saya berhenti bertanya ketika saya di usia remaja. Baru setelah dewasa ini, bisa berani stand up dan banyak bertanya.  Jadi.. berangkat dari pengalaman saya ini, saya kira kebiasaan suka bertanya ini perlu dijaga keberlangsungannya. Pertama, dengan terus mengasah rasa ingin tahu. Balita memunculkan pertanyaan dari observasi lingkungan. Begitu ia melihat hal yang baru m

Tanya dan Apa Jawabnya

Image
Sedari belia seringkali ikut mama pergi ke suatu acara di luar dinas sekolah. Entah itu seminar, sarasehan, penyuluhan, atau apalah pertemuan yang diadakan. Biasanya juga sih, saya akan duduk tenang-tenang saja di samping mama. Kadang serius ikut menyimak materi, kadangkala saya larut dalam lamunan sendiri.  Namun ada hal menarik dari segala pemberian materi yang pernah saya ikuti, yaitu sesi tanya jawab. Di termin pertama sesi tersebut, mama mesti mengacungkan tangan untuk bertanya sesuatu. Selalu, engga pernah absen sekalipun juga.  Dan pertanyaan mama selalu saja menarik alias out of the box. Sejenis pertanyaan yang akan membuat orang manggut-manggut seraya membatin 'Oh iya yah'  Oiya satu lagi, mama nyaris selalu duduk di barisan terdepan. Hanya akan di baris kedua, jika baris pertama didedikasikan untuk para VIP acara tersebut.  Jadi bagi saya ada kenangan spesial tentang seminar dan sesi tanya jawabnya.  Nyatanya dengan segala pembelajaran tersebut, saya tidaklah seperti

Dialektika

Image
Sebenarnya saya ngapain sih di rumah? Selain mengurus bayi, memasak, nyuci, beberes rumah tentunya yah. Sebab kegiatan rumah ini saja sudah menyita waktu. Mulai dari pagi hari menyapa tanaman, lalu mengurus cucian hingga rapi berjejer di jemuran. Lalu memikirkan menu berbuka, termasuk preparation buat masak nanti sore. Saya lalu mengelap meja, tempat tidur, rak buku dan segala hal lainnya di rumah. Lalu kemudian mencuci sepatu, menyikat kamar mandi dan menggosok kain-kain lap yang kotor. Segalanya dikerjakan berbarengan bersama mengasuh bayi.  Hectic. Tentu saja demikian.  Ibu-ibu sejagat raya ini memang kelimpungan mengerjakan segala hal sebanyak mungkin.. hahaha..  Tapi saya kira pekerjaan utama saya bukanlah itu. Saya menganggap di rentang masa kali ini, tugas saya adalah tentang dialektika.  Kedua putri saya yang jelang usia remaja, telah mengadaptasi kebiasaan membaca buku dengan baik. Mereka menghabiskan banyak waktu dari balik buku. Bahkan di usia sekarang mereka tidak memainkan

Passion For the Job

Image
Hari ini klik random di YouTube channel dmembawa saya ke Norland Nanny. Lalu selanjutnya saya menghabiskan bermenit-menit untuk terperangah kagum. Saya baru tahu kalau ada sekolah profesional untuk pengasuh anak. So, Norland College diceritakan adalah tempat belajar calon pengasuh anak. Para pelajar berlatih segala aspek tentang mengasuh anak. Mulai  dari mengenal kereta bayi, bagaimana cara kerjanya, cara merapikan dan menjaganya tetap chic. Terus mereka belajar memasak dengan serius, belajar menjahit dan membuat berbagai DIY dan juga belajar ilmu tentang pengasuhan anak. Tidak hanya itu yang membuat saya terpana, mereka belajar bermain dengan anak. Bahkan mo main aja perlu belajar dulu.. kereeen banget ngga tuh Lebih mantap lagi, mereka belajar bela diri, agar bisa menjaga anak yang diasuh jika mengalami penculikan atau kejadian mengancam jiwa lainnya.  Lebih terperangah lagi saya pas tahu bahwa pelajaran profesional ini sudah berlangsung lamaaaa banget. Duh betapa banyak yang saya e

Cinta Pertama Ternyata Biasa Saja

Image
Pertigaaan itu senantiasa ramai, bahkan di kecamatan kecil yang penduduknya hanya segelintir itu. Sebabnya di sanalah pintu masuk ke desa-desa di bawah gunung, dan di sana juga terletak sekolah-sekolah menengah. Di sana para penduduk yang menuju kota, duduk menunggu angkutan pedesaan, yang biasanya lewat selang tiga jam sekali itu. Pertigaan itu pada jam berapapun, tetap juga ada orang melintas.  Di pertigaan itu saya berdiri lama. Saya bersandar di tiang kehitaman, yang menopang bangunan kayu tempat penjual jengkol tinggal. Pertigaan itu ramai seperti biasa. Di dekat warung kopi sana, sayup-sayup terdengar berita gosip yang mengabarkan artis ibukota. Berhubung saya tidak menonton sinetron, dan jadi tidak kenal artis, maka suara penyiar infotainment itu pun mengambang begitu saja.  Saya menunggu mobil angkutan yang menuju ke atas, arah yang butuh kesabaran berlipat saat menunggu angkutan. Kadang ia datang setelah beberapa menit, kadang butuh dua atau tiga jam menunggunya. Itu pula seba

A Short Story of Coconut Cream

Image
Di belakang rumah kami, rumah lama yang udah dijual sih tepatnya, berjejer beberapa pohon kelapa. Pohon ini tidak terlalu tinggi, hanya beberapa meter melampaui atap rumah, sehingga masih bisa dijangkau dengan tangga. Itu sebabnya tangga selalu standby di dekat pohon kelapa.  Seingat saya, kami tidak pernah panen kelapa dan lalu dijual. Sebab kelapa ini biasanya hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika buahnya kelewat banyak, selalu ada saudara atau tetangga yang dibagikan buah kelapa. Intinya ini kelapa for domestic use only, not for sale hahaha..  Masalahnya, kami nyaris tiap hari butuh santan. Entah untuk menggulai, bikin rendang atau sambal kelapa yang diuleg halus di batu gilingan besar. Tiap hari pula kami memanjat tangga dan memetik satu atau dua buah kelapa.  Lalu dikupas sendiri oleh Mama atau Apa. Bukan saya tentunya. Karena entah kenapa saya tidak sanggup mengatasi kulit keras buah kelapa alias sabut yang liat itu. Rasanya satisfying melihat buah kelapa yang mudah sekali d

Beberes Next Level

Image
Waktu itu kepala rasanya penuh, overwhelmed to the max, ceritanya. Senja menjelang ketika saya menaiki bus Mayasari menuju Kampung Rambutan. Saya menempelkan wajah ke kaca, sebagian karena ingin meletakkan beban kepala, sebagian karena jemu belaka. Seolah menempelkan pipi di jendela bisa membuat masalah menguap begitu saja.  Di luar, pemandangannya khas ibukota kala hari hampir berakhir. Para pekerja dalam gedung keluar nyaris bersamaan, kemudian berpencar menuju halte, stasiun, atau melangkah ringan di sepanjang pedestrian yang apik. Sebagian tidak pulang, melainkan ngeteh sore di suatu tempat, atau malah baru mengawali hari itu. Seperti halnya abang tukang penjual teh atau kopi keliling, yang mangkal dekat halte. Atau penjual somay dan gorengan yang sering diserbu pekerja yang kelaparan sepulang kerja.  Saat jemu makin melanda, saya menangkap pekerja taman yang sedang memotong rumput. Saya terpesona. Satisfying sekali menyaksikan rumput yang tadinya tumbuh tidak terkendali, seketika

40% Sudah Cukup

Image
Para perempuan di keluarga besar di pihak mama, adalah perempuan cerdas, mandiri, tangguh dan punya visi yang jauh ke depan. Jika ada sekumpulan orang di depan sana, dipastikan bahwa yang pegang mic menjelaskan segala sesuatunya adalah salah satu perempuan dari kaumku. Demikian juga di suatu dapur yang rusuh minta ampun, yang memegang komando alias chef di sana adalah salah satu tanteku. Demikian pula di lapangan sholat ied, apabila ada perempuan pemegang komando infaq, ia adalah tanteku pula.  Para perempuan di keluarga besarku, seperti halnya mamaku, merupakan pencari nafkah di keluarga. Mereka kuat, tegar ditempa pengalaman berinteraksi dengan berbagai persoalan hidup. Mereka cerdas mengatasi masalah dan memiliki tingkat kesabaran another level. Mereka akan mengerjakan segala sesuai jauh melampaui ekspektasi siapapun. Mereka adalah pemimpin, kepala regu, pencetus ide, atau penggerak sebuah kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.  Saya memuja mereka karena keistimewaan ini.  Dan

Alam yang Menjadi Guru

Image
Ada pepatah dari Minangkabau, alam takambang jadi guru. Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini ada untuk kita jadikan pembelajaran.  Tentang air yang mengalir dari pegunungan, hingga ke sela bebatuan, teruss melaju hingga muara sungai dan bersatu di lautan. Bersama dengan air dari sumber mata air lain yang berjauhan dari ujung ke ujung samudera. Sifat air demikian adalah sebuah pembelajaran. Kita juga belajar dari burung yang melintas di kala senja, dari tangkai padi yang merunduk saat bulirnya makin berisi. Segala sesuatu yang berkesiur di sekitar kita adalah mata pelajaran yang penting. Beberapa waktu ini saya belajar tentang daya resilience. Betapa daya tahan diperlukan ketika hidup udah bagai menaiki sampan mengharungi lautan dengan badai yang tidak kunjung reda. Ah ini agak-agak berlebihan sih.. sebab sebenarnya semua orang mah terguncang juga gegara ujian pandemi kali ini. Ga tanggung-tanggung, sejagat raya ini menempuh ujian di waktu bersamaan. Persis sama. Hanya materi ujiann

Petualangan Rasa

Image
Salah seorang staf suami makan siang di rumah kami. Saat itu menu makannya biasa saja, gulai ikan nila dengan segenggam kacang panjang. Terhadap gulai ikan ini tidak ada bumbu aneh yang dimasukan. Hanya standar gulai ikan khas Padang pada umumnya. Yaitu cabe halus, bawang merah dan putih, dan kunyit, serta dedaunan semacam daun jeruk dan daun kunyit. Segala bumbu tersebut dimasukkan ke dalam kuah santan yang kental dan diaduk hingga santan dan bumbu mengeluarkan aroma harum. Baru kemudian potongan ikan dimasukan ke dalamnya. Habis itu udah ngga diaduk lagi, hanya sesekali diawasi.  "Bumbu ikan gulai kuningnya spesial." Ucap sang tamu. Saya hanya nyengir. Beberapa hari kemudian tamu yang sama makan lagi di rumah. Ia terkesima dengan gulai ayam yang tengah dimakannya. "Ini beda lagi rasanya!" Serunya senang. "Tapi sama enaknya." Lanjutnya dengan riang. Saya nyengir sekali lagi.  Tetapi seusai makan, ia bertanya apa bumbunya. Saya mengatakan padanya, kalau ka