Perempuan Galau dan Perempuan Cemas

Entah itu di tahun berapa, tapi yang jelas itu terjadi di masa saya lagi semangat baca-baca segala hal. Yang sayangnya berbentur dengan situasi kekurangan bacaan. Bahkan kertas pembungkus ikan asin saja, bisa jadi bahan bacaan yang menarik. Untunglah di rumah kami saat itu ada beberapa buah majalah intisari. Dulu dibeli Apa, karena Apa juga sangat gemar membaca. 

Buku intisari itulah yang saya baca berulangkali hingga saya hafal segenap isinya.

Salah satu artikel di majalah tersebut bercerita tentang dua orang perempuan yang seharusnya bisa saja menjalani hidup normal. Diceritakan bahwa mereka memiliki keluarga yang baik, serta kondisi keuangan dan kesehatan yang baik pula. Akan tetapi dua perempuan tersebut memiliki kesusahan pikiran setiap harinya. 

Perempuan pertama, adalah seorang yang galau dengan segala hal terjadi di sekitarnya. Ia menyusahkan hatinya dengan pemikirannya yang berkelana jauh. Kerap ia menggenggam teko teh dengan mata menerawang cemas. Lambat laun wajahnya yang cantik jadi tersaput muram yang menetap. Ia merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. 

Perempuan kedua tidak kalah bersusah hati. Ia cemas dengan segalanya pula. Kadangkala setelah menjemur cuciannya di halaman belakang, ia cemas kalau-kalau hujan akan segera turun. Ia pun bolak balik melongok ke jemuran, cemas akan derai hujan yang membasahi bajunya. Padahal di atas sana langit biru dengan matahari bersinar terik. Ia juga mencemaskan kalau makanan yang dibuatnya tidak sesuai dengan selera keluarga. Padahal ia adalah home cook yang handal. Lagipula tidak sekalipun suami dan anaknya mengeluhkan masakannya. Hanya saja, kecemasan di benaknya tidak mau reda. 

Kedua perempuan itu menderita dengan pemikiran yang membelit kesehariannya. Lebih buruk lagi ia juga mempengaruhi suasana hati keluarganya. Bersama ibu yang sedih dan cemas, anak-anak tidak bisa tertawa lepas. Pun suami akan merasa terbebani. 

Apakah dua kisah di majalah intisari lama itu relate dengan kondisi kita sekarang? 

Mungin tidak separah itu yaah.. 

Tapi adakalanya rasa cemas merajai pikiran. Cemas akan minyak goreng yang harganya makin tidak terjangkau misalnya, atau cemas apabila kurir belanja online datang pas kita lagi pergi keluar kota. 

Galau dan cemas tentu saja ada. Ia bagian dari perasaan yang normal. Sungguh manusiawi sebenarnya. Hanya saja, ia menjadi racun saat sudah mengganggu keseimbangan rasionalitas. Apabila saking galau dan cemas, lalu menyingkirkan pikiran logis. Maka di sini alarm harusnya sudah menyala. 

Kita perlu menenangkan pikiran agar tentram dan bekerja rasional. 

Kalau saya memilih cara berusaha, berdoa dan kemudian tawakal pada Allah. Sampah-sampah pikiran bernama galau dan cemas overdosis, langsung tereduksi dan sirna. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga