Pertanyaan Salah Alamat

Sedari awal saya sudah tahu bahwa situasi ini akan terjadi. Saya amatlah paham. Bagaimana mungkin saya tidak mengerti berapa tinggi level komunalnya masyarakat skala kecil yang berpusar di sekeliling hidup saya. Entah itu perihal pohon pisang yang kematangan di pohon, atau tentang saya yang lama tidak membeli gamis baru. Saya sebenarnya tidak terlalu masalah dengan intervensi lintas dapur begini. Karena sudah terbiasa sedari kecil. 

Kecuali perkara anak. 

Saya tidak paham, darimana datangnya asumsi bahwa saya tengah menunggu kedatangan anak laki-laki. 

Ketika putri pertama lahir, saya menatap mama yang sangat bahagia. Beliau memeluk Atya yang dibungkus rapat dalam bedong. Lalu beliau berujar, "Alhamdulillah, lah basambuang keturunan mama." Ini mengacu kepada pola matrilineal yang dipakai di tanah Minangkabau. Bahwa anak perempuan akan meneruskan nama marga, penjaga rumah gadang dan harato pusako. Memiliki cucu perempuan bagi mama, berarti jalur keturunan mama telah berlanjut. Nama marga kami akan terus berjalan, dan akan ada anak gadih yang akan menjaga rumah kami kelak. Sehingga saya tak urung ikut tersenyum. Dan tidak hanya mama tentunya, suami pun sangat membanggakan putri pertamanya yang berpipi bulat itu. 

Ketika putri kedua lahir, kebahagiaan keluarga kami bertambah. Cinta meluap di rumah kami. Rumah yang selalu semarak oleh tawa riang kedua putri. Rumah yang juga senantiasa berantakan oleh peralatan craft atau baking. Saya bahagia dengan kehidupan kami berempat. Hingga tanpa terasa: 8 tahun berlalu sejak saya melepas IUD dan kemudian memiliki calon ananda ketiga. Pada saat USG yang memungkinkan kami melihat jenis kelamin janin, saya menyerahkan segalanya pada Allah. Allah yang maha Tahu kemampuan saya dan suami. Allah yang Maha Bijaksana memberikan kami amanah sesuai kemampuan kami berdua. Maka ketika dokter kandungan menginformasikan bakalan ada dara ketiga, senyum kami otomatis mengembang. Kami akan sangat mencintainya. Begitulah jadinya, putri ketiga pun lahir dengan balutan cinta yang rapat. 

Jika saya menilik ulang, saya tidak menemukan adanya curhatan dari saya atu curcol suami bahwa kami merindukan anak laki-laki. Semata karena kami percaya bahwa Allah mempunyai rencana yang lebih baik. Semata karena tunduk pada ketetapan-Nya. Tapi entah kenapa, jika bertemu sanak saudara atau kenalan di negeri perantauan ini, selalu ada komentar senada: nambah satu lagi, biar dapat anak laki-laki. 

Actually, ini adalah komentar yang ngga bikin sedih juga. Biasa saja sebenarnya  Hanya saya yang jengah kalau keseringan ditanya. Sebab, perihal memiliki anak, saya menganggapnya sebagai hal yang amat personal. Tidak sembarangan orang yang saya ijinkan membahasnya. Tapi kini, persoalan personal itu ditanyakan seringan bertanya "Apa kabar?" Bahkan lebih ringan lagi, karena seringnya penanya tidak menunggu jawabannya. Melainkan hanya sekedar berujar begitu saja, melepaskan pikiran yang melintas di kepala. Kadang hanya karena kepo saja. Itu sebabnya saya lalu berlatih mengucapkan kalimat singkat yang menohok, di pikiran saya.

Komentar : "Nambah satu lagi, biar dapat anak laki-laki."

Jawaban : "Hadirnya anak itu keputusan Allah." Ini seharusnya dijawab dengan dibarengi senyum yang manis. 

Kemaren, saya menghadiri pesta pernikahan. Dimana saya berpotensi setidaknya ditanya 5 kali tentang anak keempat yang semestinya laki-laki. 

Dan benar saja, segera saya mendapatkan kalimat suruhan itu.

"Tambah ciek lai. Kok lai dapek anak laki-laki." 

Nyatanya saya hanya bisa senyum. 

Ngga enak hati rasanya jika menjawab judes atau ketus. Tapi saya segera menimbun rasa gemas saat makin banyak aja suruhan memiliki anak itu datang.

Rasanya pengen deh jerit-jerit di pojokan pelaminan.

"Apakah saya sedemikian nelangsa dengan tiga anak perempuan, sehingga semua kompakan nyaranin nambah anak biar punya anak laki-laki."

Tentu saja itu hanya selintas di pikiran saat mau mengambil sepiring sate Padang. 

Etapi serius.. kira-kira apa yah pemikiran ketiga putri saya saat semua orang menuntut anak laki-laki pada saya. 

Owalah. 

Semoga kemaren anak-anak hanya menganggapnya sebagai angin lalu.

Semestinya kesemua permintaan nambah anak itu saya tanggapi dengan power of question. 

Apakah saya terlihat tidak bahagia dengan ketiga putri? 

Apakah ibu/bapak/uni sangat membutuhkan saya memiliki anak laki-laki? 

Apakah saya harus banget punya anak laki-laki? 

Bagaimana kalau Allah mentakdirkan saya hanya punya anak perempuan, apakah ibu/bapak/uni akan terus bersikeras menyuruh saya punya anak lagi? 

Wah kiranya bakal parah sekali efeknya jika daftar pertanyaan di atas itu saya lontarkan. Apalagi dengan dibarengi dengan wajah serius. Saya menduga itu berakhir dengan saya harus segera berpamitan dengan tuan rumah dan kabur pulang.

Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk nyaman dan bertahan menjawab sopan. Hingga saat saya mendengar di balik pundak saya, entah itu bisa disebut pertanyaan atau gugatan.

"Alun juo lai? 

Ditujukan pada perempuan muda yang belum punya anak setelah 2 tahun menikah. Artinya adalah, kenapa masih belum punya anak. 

Saya mendadak menyesal, kenapa tidak saya keluarkan duluan power of question saya itu, agar tidak ada adik yang salah tingkah dengan mata yang muram. 

Hiks.. 

Lamat-lamat saya menyadari, betapa kalimat yang ringan bagi seseorang ternyata bisa memberatkan hati si pendengar. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga