Kisah Hati yang Iri

Seorang saudara mampir pagi ini ke rumah. Kami berbincang ringan saja awalnya, tapi lalu entah kenapa menyebut perkara rasa iri. Dia berkata bahwa untunglah di keluarga kita engga ada yang namanya rasa iri, engga seperti orang-orang lain.

Entah kenapa, saya merasa ini kalimat yang bersayap.

Meski demikian, saya diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa. Juga tidak kepikiran untuk bertanya lebih jauh. Tapi tidak urung saya menyimpan penasaran dalam hati, mengingat saya tengah renovasi rumah. Apakah ketika saya butuh tambahan ruang untuk 3 anak gadis, lalu menjadi trigger rasa iri? Bukankah selama ini saya sudah sangat low profile, dengan tidak pernah punya agenda shopping apapun. Bahkan setahun bisa berlalu tanpa saya punya baju baru. Hanya karena simply ngga kepikiran aja punya baju baru. Saya juga tidak pernah posting apa- apa di medsos yang sekiranya mengundang rasa iri. Sebagian besar malahan berisi saya yang mentertawakan diri sendiri. 

Moreover, ketika saya berhasil membeli segala sesuatu, ini karena jerih payah sendiri, dan terlebih pula karena sesuatu itu merupakan hal yang dibutuhkan.

Seharian saya sibuk bertanya-tanya, apakah seharusnya saya balik membahas perkara rasa iri kepadanya. Saya bisa mulai dengan pertanyaan:  Kenapa muncul topik ini? Apakah ada sesuatu yang mengundang rasa iri? Seberapa besar kesalahan yang tercipta jika memantik rasa iri orang lain? Lalu apa yang saya lakukan jika orang iri pada yang saya lakukan. 

Akan tetapi begitu segala pertanyaan ini bergema memenuhi kepala, saya akhirnya bersyukur karena tadi telah diam saja. Kiranya kurang elok jika malah dibahas. Saya memilih diam saja, karena ya.. sudahlah ya.. Toh soal perasaan orang di hati adalah hal yang sangat personal. Seberapa banyak pun yang saya lakukan akan tetap salah di mata orang yang sejak awal tidak menyukai.

Tentang rasa iri, saya sendiri bersyukur mendapat banyak pengalaman di masa belia. Saat itu pohon kayu manis di ladang kami baru sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Tapi Apa memutuskan menebang pohonnya hanya karena Apa berpikir seorang butuh biaya, dan pohon yang masih remaja itu akan bisa membantu kesulitannya. Akan tetapi ketika kami sedang bekerja dengan kulit kayu manis, seorang yang dibantu Apa ini mengatakan bahwa pohon kayu manisnya sendiri sudah sebesar pahanya, dan ia simpan tidak ditebang. Ia amat membanggakan kekayaan terpendam di ladangnya. Saya tidak melihat sedikitpun garis kesal di wajah Apa. Melainkan hanya rasa syukur bahwa ia telah melakukan sesuatu sebaik-baiknya. Saya menyimpan momen janggal itu dengan baik. Karena ini adalah sebuah pembelajaran yang sangat berharga. 

Ini akhirnya menjadi value yang saya genggam. Bahwa di dunia fana ini, yang bisa kita lakukan adalah berusaha sedapatnya, seikhlasnya dan segembira yang bisa kita usahakan.

Hanya dengan demikian, kita bisa memiliki hati yang lapang. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga