Growing Up in Low Risk Environment

Saya suka doodling. 

Dulu.

Tepatnya waktu gabut selepas kuliah, jelang pergi merantau. Apabila saya sudah selesai membereskan rumah, mengurus tanaman dan menyapa keluarga bebek, saya lalu kehilangan keseruan. Padahal matahari masih belum meninggi. Saat itulah saya menyibukkan diri dengan menggambari apa saja. Persis kerjaan saya waktu kanak-kanak. Mama yang melihat 'mahakarya' saya itu, lantas memberikan kesempatan berkembang. Mama meminta saya menuliskan kata mutiara di sepanjang selasar sekolah dengan corak yang bakal disukai anak SD. 

Saya gembira.

Karena bisa menyalurkan hobi dengan benar. Selain itu, saya bisa lega sebab tidak akan ada yang mencela karya saya. Ini termasuk perkara penting waktu itu. Karena kemampuan menggambar saya sebenarnya hanyalah pengakuan diri semata. Saya bahkan tidak pernah mengikuti lomba menggambar apapun, dan tetap saja tulisan tangan saya hanya lebih baik sedikit dari cakar ayam. 

Tapi membuat karya di sekolah, saya merasa nyaman. Karena itulah tempat dimana anak-anak menyukai warna warni ceria, dan guru-guru di sekolah itu mencintai saya layaknya anak sendiri. Bagaimanapun hasilnya, saya percaya bahwa saya akan tetap disayangi.

Demikianlah, bekerja dalam suasana tentram zonder kecemasan ternyata menghasilkan bentuk yang bagus. Saya pada akhirnya berhasil. Saat semua selesai, saya tak urung merasa luapan rasa bahagia, dan percaya bahwa kelak jika diminta bikin mural lagi di sekolahan, saya akan bisa menyelesaikannya.

Ini adalah catatan kecil di masa lampau. Bahwa sebuah hati yang kecil dan penuh cemas bisa jadi berani ketika berlatih di ruang nyaman. Lalu kemudian bisa siap menyambut tantangan baru. 

Pengalaman kedua saya tentang ini adalah saat berada di komunitas Ibu Profesional Jakarta. Ketika saya berada di tengah-tengah orang yang saya kagumi. 

Meski memang tidak semua orang seperti ini. Mungkin hanya yang tipenya seperti saya, yang serba khawatir akan salah langkah. Tentunya banyak juga orang yang siap menyambut tantangan baru dengan percaya diri.

Saya kira bertumbuh dalam lingkungan kondusif memberikan banyak hal positif. Terutama ketika mengambil peran yang akan mempengaruhi hidup orang banyak. Terlebih lagi saat mengambil peran sebagai pemimpin. tidak dapat dipungkiri, ini adalah sebuah tugas yang besar dan mengandung tanggung jawab yang besar pula. Seseorang seperti saya ini bisa-bisa ngumpet duluan kalau tetiba diberikan tugas tampuk pimpinan.  Reluctant. Mungkin bisa disebut demikian. Ada rasa ragu akan kemampuan diri. 

Apakah saya benar punya kemampuan itu? Jangan-jangan hanya self-proclaim belaka.

Bagaimana jika ada hal yang tidak terduga dan di luar kendali nantinya? Apakah saya bisa menuntaskan pekerjaan?

Bagaimana dengan penilaian orang lain terhadap kinerja saya? 

Segala pertanyaan itu membuat kaki makin berat aja buat maju ke depan.. huhuhu... 

Nah di sinilah perlunya low-risk environment tadi. Dalam kasus saya tadi, andai saya berbuat salah, toh tuisannya tinggal dihapus saja. Paling anak-anak sekolahan akan keheranan dengan nasib mural berantakan yang bertahan hanya dua hari saja. Akan tetapi efek keberhasilannya membuat saya jadi percaya diri. Kemudian ketika belajar menjadi host di acara kuliah whatsapp di komunitas Ibu Profesonal, saya memiliki mentor. Mentor ini yang mendampingi saya, memberi arahan dan kemudian berjaga siap membantu. Efek keberhasilannya luar biasa. Saya jadi merasa bahwa saya bisa memberikan makna pada urusan yang besar. Bahwa saya memiliki kemampuan asal berada di ruang tumbuh yang tepat. 

Proses belajar ala magang ini membantu saya mencoba berbagai pendekatan berbeda, kemudian bisa pelan-pelan mempelajari cara terbaik dalam melakukan sesuatu. Kemudian saya juga perlaha bisa berani memancang impian yang besar, dan belajar mengambil tanggung jawab lebih besar. 

Dalam kata lain, seiring kepercayaan diri bertumbuh, saya juga makin siap mengambil peran yang lebih menantang.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga