Kisah Telepon yang Hening

Saat itu ada paket Rp.25.000 sehari untuk seharian telpon. Paket yang menyelamatkan kerinduan perantau baru kayak saya. Biasanya saya membeli paket ini di hari libur. Lalu saya akan menghabiskan waktu seharian itu untuk telponan dengan keluarga atau kawan lama. Lengkap sudah segala berita dari kampung halaman saya terima. Mulai dari pohon petai yang berbunga lebat hingga ke kambing yang melahirkan. Juga kabar tentang bayi-bayi yang baru lahir atau rumah baru yang dibangun menggantikan sawah di tepi jalan. Saya menyukai saat-saat menghabiskan paket hemat telpon itu.

Tapi itu terhenti ketika saya memiliki bayi. Ketika saya memiliki putri, saya merasa seluruh waktu saya lalu berpusat kepadanya. Saya hanya belajar sesuatu yang berkaitan dengan perkembangannya. Saya ikuti seminar yang terkait parenting, juga ikut milis dan Facebook Group tentang menyusui dan tumbuh kembang anak. Demikian juga dengan buku, cover buku yang tertangkap pandangan pertama adalah yang mengandung kata bayi atau anak. Mungkin karena memang saya minus ilmu perihal pengasuhan anak. 

Dan besar kemungkinan, hal-hal yang berkisar tentang bayi ini sedemikian masuk ke bawah sadar. Saya tidak bisa tidur dan makan tanpa memastikan bayi sudah tidur dengan nyaman. Dan begitu sebuah tangisan pecah, rasa lapar dan haus akan menguap seketika. Saya tidak bilang bukanlah hal ideal, toh seorang ibu perlu management waktu dan memperhatikan wellbeing. Tapi apa daya, kerongkongan saya berhenti bekerja ketika bayi membutuhkan perhatian. 

Apabila perut yang keroncongan saja bisa mendadak diam, apalah artinya segala hal lain. Termasuk smartphone yang sebenarnya selalu berada dekat saja. Dekat tapi silent hahaha.. 

Saya merasa tidak sanggup menerima telpon ketika ada tangisan atau rengekan bayi. Sehingga saya tetiba terputus dari kabar remeh temeh dari kampung halaman. Juga tidak lagi bisa chit chat santai dengan sabahat lama. Saya tidak pernah memantau timeline media sosial juga tidak melihat status orang-orang di akun apapun itu. Simply karena saya sibuk memperhatikan gerak gerik bayi dan anak-anak jelang remaja ini. 

Oh tentu saja, tidak kurang banyak komplain yang saya terima karena sulit dihubungi. Saya sungguh amat tahu. 

Tapi apa excuse yang saya berikan. Bahwa saya sibuk main sama anak-anak? 

Bahwa saya prefer chat saja ketimbang telponan?

Saya tidak yakin akan banyak yang mendukung hal ini. Sebab telpon pada prinsipnya memang digunakan agar seorang mudah dihubungi. Huhuhu.. 

Actually saya sebenarnya masih suka telponan. Untungnya saya berada di circle orang yang akan bertanya dulu apakah saya nyaman ditelpon di saat itu. Dan mereka akan memberikan ruang jika saya sedang sibuk menenangkan bayi. Kadang saya simply sedang tidak mau berbicara sebab sudah berjam-jam menggendong bayi, dan ketika ia sejenak tidur, saya sungguh butuh jam tenang itu untuk memperhatikan dua anak lainnya.

Saya bersyukur memiliki teman baik yang paham hal ini. Bahwa bagi saya, suara ketiga putri lebih riuh ketimbang suara telpon masuk. 

Bagi keluarga, segala telpon telah lama teralihkan ke suami. Kata mereka, ngga guna chat atau telpon saya ketika sedang buru-buru. Karena bisa jadi hp entah terselip di antara kasur dan dinding, atau terbenam dalam besek berisi bawang merah. Hiks.. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga