Selarik Keteguhan

"Jadi uni ngapain aja di rumah?" 

Ini pertanyaan yang ganjil.

Belum ada juga yang pernah nanya ini ke saya sebelumnya. Sebab pekerjaan seorang ibu rumah tangga sudah terang benderang bagaikan matahari tengah hari.  Apabila toa masjid sudah memecah keheningan dinihari, ibu akan beranjak dari kasur. Betapapun menggoda selimut dan bantal yang terlihat makin empuk. Tapi ya begitu, menunda bangun pagi hanyalah menumpuk pekerjaan yang mesti dituntaskan juga pada akhirnya. 


Sejurus kemudian, ibu sudah sibuk dengan segala urusan rumah tangganya. Mengurus sarapan, menyiapkan anak untuk berangkat sekolah dan beberes rumah. Ketika seisi rumah sudah bepergian menunaikan tanggung jawabnya, ibu kembali sibuk dengan deretan perkerjaan yang tiada habisnya. Hingga matahari bertengger tinggi, lalu menurun menjemput senja, dan hingga akhirnya tirai malam sempurna menutupi bumi. Semua waktu adalah jam kerja yang perlu dimanfaatkan sebaik mungkin.


Bahkan dengan ibu yang berkejaran dan menyingsingkan lengan baju dalam menuntaskan daftar kerjaan. Namun pekerjaannya tidak juga selesai. Jika esok subuh kembali tiba, segera pula si ibu tadi menjemput sisa pekerjaannya dan menuntaskan pula agenda hari ini. 


Maka tidak ada yang pernah bertanya pada saya, apa saja yang saya lakukan di rumah. 

Pun saya memang tidak pernah cerita juga pada sesiapa. Karena segala yang saya lakukan adalah pendakian yang saya tempuh dengan tertatih. Tertatih dalam konsep ilmu, sehingga saya seharian sibuk bertanya-tanya apakah yang saya kerjakan ini sudah benar adanya. 


Teman yang bertanya ini, adalah seorang yang tulus. Maka padanya saya ceritakan apa adanya. 


Bahwa saya sibuk bermimpi, merancang rencana, belajar dan menguatkan diri mencoba setiap ilmu yang didapatkan. 


Saya bermimpi bahwa putri-putri saya adalah seorang yang imajinatif, visioner, cerdas, bijaksana dan membawa kebaikan yang besar pada bumi ini. 

Untuk itu saya lalu merancang rencana, tentang bekal apa yang perlu saya siapkan untuk mereka. 

Lalu karena saya miskin ilmu pengasuhan remaja, saya lantas pontang panting membaca segala referensi yang berkaitan. Juga sibuk merenungkan berbagai hipotesa yang ada di hadapan. Apa kiranya yang akan sesuai dengan value keluarga kami. Jika ia pas dan kami butuhkan, berikutnya perlu dipikirkan bagaimana cara anak-anak menguasai kemampuan tersebut.


Segala proses ini melibatkan proses merenung. Literally menatap kejauhan dengan nanar, kemudian mencoret-coret kertas. Lalu saya perlu membaca banyak materi yang berkaitan dengan pengembangan bakat. Juga banyak teori komunikasi dan leaderahip. Itu baru proses belajarnya.


Yang lebih berat adalah saya perlu menyampaikannya dengan asik kepada anak-anak saya. Ini kesulitannya another level. Perlu banyak sesi ngobrol. Dan perlu pemahaman yang berulang-ulang dikuatkan. 


Lalu sahabat saya ini bertanya lagi.

"Apakah uni punya waktu untuk itu?"


Saya menatapnya dengan senyum tipis. Selarik hambar menerpa di hati. 

"Uni mengorbankan banyak hal untuk mendampingi anak-anak sepenuhnya." Ujar saya padanya. 

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga