Meminta dan Berterima Kasih


Saat mudik, saya mengingatkan arti mudik dan meminta kerelaan pada anak-anak.

Jangan karena saya merindukan keluarga di kampung, dan butuh menjalin silaturrahim, saya jadi abai pada kebutuhan mereka.


Tapi ya gimana.

Suasana lebaran memang tidak sejalan blas dengan keseharian anak-anak.


Aslinya, kedua putri jelang remaja akan selonjoran dengan buku di tangan. Setelah menyetel ac di suhu terendah yang dimungkinkan oleh remote ac, mereka akan tenggelam dalam kisah dalam buku yang dibaca.

Kecuali jika saya mengingatkan dengan sepotong kalimat sakti: 'udah sore Nak', mereka masih akan terus berada di posisi yang sama.

Atau bertiga mereka tertawa riang sambil 'menata' barang mainan di kamar saya. Apabila saya membuka pintu, saya wajib menyiapkan ekstra kesabaran dulu. Sebab kamar pastilah berada di situasi kusut maksimal. Saya bisa memastikan ketiganya hanya akan nyengir ketika saya nongol di balik pintu. Paling kakak yang akan segera nyamber, "Ntar kakak beresin, Nda." 


Tapi mudik lebaran khan ngga gitu. 

Mereka akan menirukan saya yang melipat kaki dengan khidmat, ketika bertamu ke rumah yang tidak menggunakan kursi. Lalu perlu juga menahan diri demi melihat stoples eggroll yang tidak boleh disentuh sebelum dipersilahkan tuan rumah. Juga mereka hanya bisa melirik stoples yang jauh, sebab yang berada di jangkauan saja yang boleh diambil. Betapapun menggoda isinya 😀

Apa daya, bertamu memang punya aturan khas. Tidak sebebas memeluk stoples di rumah, dimana isi stoples berbanding lurus dengan novel yang dibaca. Stoples pun kosong, persis saat bacaan berada di halaman terakhir.


Jika sore hari menjelang, salah satu akan bertanya, 

"Bunda, habis ini kita pulang atau masih bertamu lagi."

Saya akan tersenyum dan bilang kalau kita pulang. 

Lalu mereka akan bersorak gembira. 

Saya menyimpan kecurigaan diam-diam. Entah mereka capek beneran, atau hanya karena pengen kulineran di balai Situjuah Batua. Sebab begitu sampai di rumah, mereka akan segera melesat pergi ke balai.


Itu pula sebabnya di pagi hari saya biarkan mereka main di halaman samping. Bertiga mereka mengumpulkan bunga, menggali tanah dan kemudian merekonstruksi rumah lumpur. Dengan resiko nenek akan kehilangan banyak alat dapur, karena menjadi bagian dari properti kerja mereka. 😂

Itu pula sebabnya saya membiarkan mereka berenang setengah hari di Batang Tabik. Karena tidak ada mata air semacam itu di Jakarta. 


Jauh sebelum mudik, saya meminta mereka agar berkenan menyetel mindset silaturrahim, bukan jalan-jalan. Jika nanti ada kesempatan ke tempat wisata, itu adalah bonus belaka. Mereka mengangguk bersedia. Tapi ini bukan kerja yang seketika, karena pelajaran silaturrahim sudah dibisikkan bahkan sejak mereka balita.


Lalu sekembali di perantauan, saya berterima kasih karena mereka telah sabar. Telah sedemikian patuh dan baik selama di jalan. Juga karena telah mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kebutuhan pribadi. Terutama saya berterima kasih karena telah berkenan ikut terlibat obrolan saat bertamu atau menerima tamu. Untuk seusia mereka, ikut duduk takzim adalah pekerjaan yang berat.

Untuk segala kebersamaan anak-anak, saya mengapresiasinya dengan tinggi.

Comments

Popular posts from this blog

life is never flat

17 Agustus bersama Playschooling Tomat

Cerita Ramadan 2024 - Hari Ketiga